Menatap Pagi Berikutnya
Jalanan
ini masih saja sepi, suara iringan kendaraan terdengar dengan jeda yang biasa.
Ah mungkin ini karena terlalu pagi. Aku mengendarai kendaraan ini seperti ingin
mengiringi siapapun yang ada di depan. Sengaja aku memelankan gas motor agar
dapat lebih lama melihat indahnya embun menutupi danau pagi ini. Aku memasang
wajah binar-binar secerah mentari pagi, hmm mungkin layaknya ceria atau apa.
Sambil melihat handpone, jujur saja aku menunggu sesuatu pemberitahuan di benda
itu, entah sekedar pesan atau mungkin sebuah panggilan kecil dengan sapaan “hello, apa kabar?”, “lagi ngapain?”, “sudah di kampus atau belum?”
Tiiiiit… bunyi klakson motor menghentakkan lamunanku.
“heii.. kenapa pelan sekali bawa motornya?” seraya dia yang suaranya terasa ku
kenal malah tersenyum menghampiri dengan ikut memelankan motornya. Aku menoleh
ke samping, dia yang seperti itu menunggu jawabanku, “oh.. hahaha Cuma mau
nyantai dikit pagi ini.. ga lucu kan seriusan terus, lagian hari ini aku ga
apel”. Sudah ku jawab begitu, senyumnya masih saja tak punya tanda koma,
mungkin sudah terbiasa melatih keramahan wajahnya.”wohoho.. okelah kalau
begitu, aku kira kamu lagi putus asa. Jadi mau lompat gitu ke danau sama
motornya kamu hehe biar di kata anti mainstream
wkwkwk”, kali ini dia lepas mengungkapkan leluconnya sambil memegang perutnya
menahan tawa.
Untuk sekarang aku terdiam sambil menggelengkan kepala,
sudah lama tidak melihat dia seperti itu yang biasanya dengan kecanggungan. Aku
baru sadar tidak seharusnya dia disini, mungkin sedang liburan ke kampung
halamannya ini. Mana mungkin dia dengan sengaja keluar dari jalur kampus hanya
untuk sekedar berlibur, apalagi harus meninggalkan Yellow Jacket kebanggaannya hahaha, Farel. “udah ah.. kayaknya aku
mesti sedikit buru-buru, waktu aku udah kepotong karena ngobrol sama kamu hehe
kalau mau ngajak ngobrol cari waktu yang tepat dong”, belum sampai 30 detik
Farel mengangkat alisnya, breeeem.. aku
mengebutkan motor ku, yang sebelumnya hanya berkecepatan 20 kilometer per jam.
Mungkin terlihat tidak sopan, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk sebatas
obrolan teman lama, setidaknya dia juga mengerti tentang aturan kampus dengan
jurusan kesehatan seperti aku, padahal sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku
ceritakan kepadanya tentang hari-hariku di sini sepeninggal dia.
***
“ciee rajin amat, ga pernah terkalahkan sama pak cleaning service buat ngebuka pintu
kelas”, suara risa memecahkan keheningan di sekitarnya. “hahaha ga kok, Cuma
sekedar rutinitas aja”, aku tersenyum tenang dengan bahasa tubuh sedikit kaku.
“Ada yang beda ya ndah? Ada yang mau kamu ceritain atau gimana gitu?”, sekarang
aku takhluk untuk berbohong “haha ga kok, Cuma…”, sekarang aku terdengar dengan
beberapa keraguan. “Cuma apa? Cerita dong, kamu baik baik aja kan sama si Fajar?”,
Risa melanjutkan Tanyanya dengan wajah keingintahuan dan terlalu polos. “hayooo
ada apa??”, dia menambahkan pertanyaan lagi bahkan sebelum aku menjawab
pertanyaan sebelumnya. “sa, selama aku ngejalanin hubunganku dengan Fajar satu
minggu ini, terlalu banyak perbedaan sa.. padahal lama hubungan kita baru
berjalan satu minggu” jawabku pelan, “apa kamu ragu Indah?” Risa menoleh.
“Bukan, bukan seperti itu. Mungkin aku pertama kalinya
ini mengalami Long Distance Relationship.
Tapi percayalah, aku sayang sama dia, aku selalu merindukan dia bahkan selalu
menunggunya untuk menghubungi aku lebih dulu walaupun memang karena kesibukan
kita yang berbeda dan di tempat yang berbeda aku sering lupa untuk sekedar
membalas sms darinya. Tapi ini benar-benar bukan dari kesengajaan”, aku
melontarkan kata dengan sejelas jelasnya kepada Indah. Dia terlihat
mengernyitkan dahi “ah apa iya seseorang yang belum bertemu sama sekali, bisa
menjalani hubungan tanpa kebohongan. Bahkan orang yang sudah kenal lama saja
masih sering menipu pasangannya sendiri, maaf ndah bukanya mau menakut-nakuti.
Tapi ini cerita dari kenyataan yang kamu alami dan kamu memilihnya” penyataan
Risa ini seperti melewati batas sopan untuk menjaga perasaan sahabatnya
sendiri, aku bahkan sempat tak ingin menanganggapi sepatah katapun dari semua
kata yang dia ucapkan.
Grrrr.. handphoneku
bergetar, layarnya menjadi cerah seperti ada pemberitahuan yang mengharuskan
aku untuk peduli dengan benda itu, “wah, ada sms.. hmm Fajar”, aku membuka
pesan itu seperti seseorang yang benar benar mengharapkan sesuatu hingga
mengabaikan dengan siapa aku berbicara. Risa memperhatikan gerak gerik
sahabatnya ini sambil tersenyum dan angkat bicara, “siapa pun yang ada
bersamamu setiap kali itu hal yang membuatmu tersenyum, aku tanpa ragu
mempercayainya untuk kamu yang mempercayaiku sebagai sahabat”, Risa terlihat
serius dengan kata-katanya, pikiranku mulai tergoyah. Aku takut
mengecewakannya, aku takut bahwa orang yang aku pilih ini adalah suatu yang
salah atau mungkin kebahagiaan sesaat yang membiarkanku untuk menduakannya,
menduakan sahabatku sendiri.
Belakangan ini,
aku sedikit tak memperhatikan Risa. Aku lebih memilih untuk bersama handphone sebagai teman bermain. Pesan
singkat Risa yang biasanya aku balas dengan hitungan detik, kini aku lebih
mendahulukan membalas pesan dari Fajar dengan alasan. “kita kan bisa bertemu hampir setiap hari, sedangkan kalau Fajar,
melihat batang hidungnya langsung saja aku belum pernah”. Jujur saja,
sebenarnya Risa tidak setuju mengenai hubunganku dengan Fajar. Dia lebih
menyukaiku jika aku bersama Farel, mungkin karena dia lebih mengenal Farel
daripada Fajar. Alasan seperti ini sering kali tertangkap olehku secara tidak
langsung ketika kami berkomunikasi.
***
Hari ini, tepatnya sabtu pagi, aku mengitari jalanan kota
Bengkulu seraya mencari tempat makan yang sebelumnya telah di pesan oleh Farel.
Farel meninggalkan pesan kepadaku melewati Risa, entah apa yang ingin dia
sampaikan kali ini. Sudah begitu lama sejak penyataan itu kami tidak lagi
terlalu akrab. Farel sempat menyatakan cintanya kepadaku beberapa tahun yang
lalu, namun tak pernah aku tanggapi samai pernah aku jawab tidak. Sekarang dia
tumbuh sebagai seorang laki-laki dewasa yang hidup bersama ambisinya. Padahal
diam-diam aku yang menyimpan kesalahan ini karena selalu menganggapnya tidak
ada namun seringkali ingin tahu tentang kabarnya. Dan selalu secara kebetulan pula,
sesuatu sering seolah olah mengunkapkan keberadaan dan kabarnya tanpa harus aku
Tanya. Misalnya, wajahnya terpampang nyata di suatu lomba akademik yang di
menangi oleh dirinya sendiri di televisi padahal aku tanpa sengaja membuka
stasiun TV itu, dan ada juga namanya di surat kabar atau media elektronik
mengenai dia yang lagi-lagi memenangkan lomba kemudian masuk ke Universitas
terpandang di Indonesia tanpa memalui jalur tes. Sungguh ambisinya yang membara
itu terkadang menjadi patokanku sebagai model motivasi sewaktu aku lemah dan
tidak bersemangat ketika menjalani studiku.
“Eeheeem…”, terdengar laki-laki yang sengaja mengeraskan
suaranya di hadapanku. Oh Tuhan kenapa aku sempat tidak melihat dia yang duduk
memandangiku hingga beberapa menit. “udah lama nunggunya ndah? Atau aku yang
paling lama nungu kamu termenung dari tadi? Haha ga peka banget aku dari tadi
di sini”, wah sejak awal pertemuan kami pagi kemarin gaya bicaranya sudah
menjadi santai, dia tidak lagi kaku atau mungkin sudah terbiasa berhadapan
denganku di dalam angannya. “Eh iya..”, aku masih belum terlalu bangun dari
lamunan tadi yang menemaniku sebelum dia datang. “kamu sejak kapan datangnya?
Kenapa tadi ga ada tanda-tanda kalo kamu datang” tanyaku terkejut. “Aku datang
lebih awal daripada kamu, masa kamu ga tau aku dari tadi duduk di sudut sana
melihat kearah pantai hehehe aku heran dari tadi ngeliat kamu waktu datang
kesini seperti membawa beban. Jadi aku sengaja dari tadi memperhatikan kamu
dari jauh. Tapi, waktu aku kemari kamu malah tetap saja seperti tidak melihat
kehadiran apapun”.
“Oh iya, maaf-maaf hahaha.. lagian siapa suruh kamu
nungguin aku di pojok sana wkwkwk”, aku sengaja memecahkan pembicaraan supaya
dia tidak terlalu banyak Tanya. “Akhirnya pesanku melalui risa tersampaikan,
kata Risa dia ga bisa jamin kalo kamu bisa ada di sini sekarang”, Farel
langsung saja mencari bahasan obrolan yang ada di otaknya. “Loh, memangnya
kenapa? Kenapa dia bisa ragu? Kita kan sudah lama banget ga ketemu, wajar kan
kalo aku bisa ada di sini”, aku mencba menjawab sewajarnya sambil mengunyah
makanan yang dari tadi sedikitpun belum aku sentuh.
“Indah Dwi Larasati”, dia tiba-tiba memanggil nama
lengkapku, seakan menghidupkan lagi pembicaraan yang dari tadi dalam
kekosongan. Sepintas saja aku menoleh kearahnya tanpa bertanya atau
mengeluarkan kata-kata. Farel tiba-tiba menunduk diam tanpa kata dan menarik
napas dalam sambil menyeruput Mocca Float
dalam genggamannya. Kali ini dia mulai mengangkat wajahnya yang dari tadi ia tundukan. “Ndah.. bisakah
kamu mengajarkan aku bagaimana caranya agar tidak mencintaimu, bagaimana
melupakanmu dalam cinta?” kali ini dia sungguh tanpa batas dan melanjutkan
kata-katanya “tolong aku ndah.. seberapa banyak hari yang kulewati, yang ku
tempuh dengan ambisi cita-cita ini, kenapa kamu selalu ada disini?”, suara
Farel bergetar yang diikuti getaran tangannya yang menggenggamku dari tadi dan
kemudian sembari meletakkan tanganku di dadanya.
Udara pagi yang tadinya dingin seketika memanas. Aku
seperti patung tanpa nyawa di hadapan Farel bahkan bergerak sedikitpun aku
merasa segan. Aku tertunduk lemah, sebegitu tanpa daya entah apa yang aku pikirkan
dan entah apa yang Farel pikirkan. Sedikit menggelengkan kepala dan melihat
kearah sisi ombak yang menggulung di pantai sana mungkin adalah caraku kali
ini, “maaf aku tidak pernah tahu Farel”, sungguh Tuhan dengan cara apa lagi aku
menjelaskannya, aku sangat-sangat kehilangkan kata di saat ini. Berapa kali
ribu maaf yang harus aku ucapkan sejak aku mengenalnya dan harus berapa kali
pula tolakan dengan kata “tidak” untuk
setiap kali permintaan darinya.
“Rel, apa Risa belum pernah cerita kalo aku…”, kata-kataku
kemuadian dipotong olehnya. “sssstt.. cukup, aku tahu. Aku tahu kalau kamu udah
punya pacar. Maaf karena hadirku selalu membawa kebingungan, tadinya bukan ini
yang ingin aku sampaikan. Tapi begitu aku melihatmu entah mengapa hanya ini
yang ingin aku sampaikan”, kemudian Farel membalikan tubuhnya lalu pergi
kepojokan sebelah sana semakin mendekat ke pintu kaca membiarkan angin laut
menampar wajahnya.
Grrrrr.. tiba-tiba Handphoneku
bergetar, ada pesan yang masuk, namun seketika itu juga ada panggilan masuk “apa? Fajar?” , lirihku dalam hati.
Kenapa dalam waktu bersamaan seperti ini. “Farel, boleh aku permisi sebentar?”
belum sempat Farel menjawab, aku langsung pergi meninggalkannya. “Hallo ada apa
mas? ”, “hallo selamat pagi sayang”, “kenapa suaramu kurang jelas?”, “oh ini
aku lagi di luar”, “bisa tolong beri jeda aku untuk merindukanmu sekarang? Coba
kamu keluar sebentar kemudian lihatlah kearah timur, dia begitu indah”, “iya
sayang, aku melihatnya”, “sayang, bisakah kamu selalu berpikir cinta kita tidak
seperti matahari ini?” aku kebingungan, dia ini kenapa sebenarnya. Kenapa di
saat seperti ini, dia seolah memberi seolah menatap ketidakpastian dariku.
“mas, maaf kamu kenapa?”, tuuuut jaringan terputus. Aah sial, jantungku
berdebar dan berdetak begitu cepat bersama peristiwa yang terjadi sepagi ini.
Langkahku kembali duduk di hadapan Farel, melihatnya yang
kian menungguku dari tadi. “bisa aku pergi duluan sekarang, aku mau pulang..
aku lelah karena kegiatan kemarin”, mulutku membuka sedikit ragu, membayangkan
betapa banyak kesalahan yang aku buat selama dia mengenalku. Ini memang hanya
sekedar alasanku untuk menenangkan diri agar bisa pergi dari hadapannya. Farel
berdiri, tersenyum dan meninggalkanku lebih dulu sambil mengucapkan
“Wassalamualaikum Indah”. Aku melihatnya dengan keyakinan penuh bahwa dia pasti
bisa untuk melalui ini, aku sangat sedih ketika melihat muka pucatnya seperti
kebingungan. Namun aku tahu dia pasti bisa “Waalaikumsalam Farel, hati-hati
dijalan”, aku mnejawab salam perpisahan yang tertunda karena lamunan ini.
***
Sore ini, kenyamanan hati sesaat yang kudapat sejak
mengalami beberapa peristiwa tadi pagi. Sekarang aku kembali menggenggam handphone yang sudah lama dari pagi tadi
tidak tersentuh lagi. Wah ternyata ada pesan masuk, eheem lagi-lagi dari yang
tercinta fajar. “Bisakah kita sudahi saja yang sebatas hubungan ini agar kamu
tahu tentang maksud yang ku ucapkan tadi pagi? ”, aku tersentak, air mata jatuh
tanpa mengucapkan salam. Apa maksud dari semua ini? Jariku semakin lihai mengetik
pada keypad handphone di tanganku “Apa maksud semua ini sayang?
Kenapa begitu cepat? Apa kamu Cuma mempermainkan aku selama ini?” aku duduk
membeku lesu menunggu balasan pesansambil berharap dia menyatakan bahwa semua
yang di katakannya sekedar candaan.
Sementara sambil berusaha berdiri bangkit dengan langkah
dan pandangan hampa aku membuka dan menatap pesan itu dengan jawaban “iya”,
dalam sekejap handphone itu melayang
ke atas tempat tidur nyaris saja menyusur di lantai. Secara spontan aku
menjatuhkan tubuh ke tempat tidur dan menutupi kepalaku dengan bantal lalu
menangis sejadi-jadinya agar tidak ada yang tahu. Ingin rasanya ku teriak ya
Allah, sebagian tubuhku memaksa lepas dari hidupku. Terasa pedih sayatan ini
sampai mencakar pada tubuh kuadran bawah sebelah kanan yang bisa di sebut hati.
Sejenak terpikirkan olehku saat ini, mungkin aku masih
punya sahabat yang pasti akan mengerti. Tanpa basa basi aku meraih handphone yang tadinya aku lemparkan dan
mencari nama Risa di sana, “hallo Risa” suaraku terdengar parau, tanpa salam
aku menyeloteh. “hallo.. ada apa? Apalagi yang terjadi?”, Tanya Risa dengan
suara datar. “aku putus sa..”, kali ini aku tidak dapat menahan tangis, suara
sesak mungkin terdengar disebelah sana. “Apalagi yang kamu mau ndah? Tadi siang
Farel cerita kalo kamu menolak dia lagi, kamu ini sadis atau apa? Sekarang kamu
bilag kalo kamu putu? Udah bisa ngerasa nyesal sekarang?” Risa meninggikan nada
bicaranya, sungguh ini bukan Risa sahabatku yang biasanya. “Sa.. maafin aku,
kenapa kamu jadi semarah ini sa?”,aku meminta Risa untu menjelaskan lebih masih
dengan suara parau. “Iya aku marah sama kamu, terlalu banyak pengorbanan
orang-orang untuk kamu. Bukan cuma Farel tapi juga aku”, aku sangat tidak
mengerti maksud dari ucapan Risa saat ini, aku terdiam.
“Kamu ga pernah
tahu ndah, berapa lama Farel menunggu untuk kamu. Dan kamu juga ga pernah tahu
ndah berapa lama sakitnya aku melihat Farel yang selalu menunggu kamu dan
bahkan tidak mneoleh kearahku sedikitpun, entah apa yang dia lihat kearahmu
ndah. Kamu jahaaat ndah.. aku sudah lama mencintai Farel sementara kamu yang
dicintainya dalam hitungan detik selalu menolaknya begitu saja dan lebih
memilih dengan orang yang sama sekali tidak kamu kenal dan entah bagaimana
wujudnya. Aku akan sangat berterimakasih jika kamu bisa menerima Farel sebagai
kekasihmu. Tapi kenyataanya Kamuu jahaaat!! Dasar bodoh.. aaarggh” tuuuut..
sambungan selular sengaja diputuskan oleh pemiliknya dari kejauhan.
Tubuhku lunglai seketika, pandanganku tiba-tiba meredup
kemudian tubuhku tersungkur ke lantai. Duup… aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Rinai mentari kembali menyambut hari ini, seperti hidup
sendiri. Dengan lesu aku berjalan gontai keluar, uuh begitu silau tetapi embun
masih saja menutupi sela-sela ranting yang diam saja di sisi perkarangan rumah.
Semuanya terlihat berantakan, bukan hanya kamarku, begitu juga dengan penataan
alam diluar sana mungkin karena hujan deras yang mengguyur tanah semalam.
Grrrrrrr… benda terkutuk ini bergetar lagi, serasa enggan
aku menyentuhnya. Namun siapa lagi yang bisa temani diri selain benda ini
sekarang, bahkan sahabat pun tak akan pernah peduli.”Selamat fajar sayang..
sudahkah kamu menemukan arti di pagi kemarin sampai saatnya petang hingga malam
menjelang?” from Farel. Aku semakin terhenyak
tanda Tanya sempurna yang menggerogoti otak ini, kenapa Farel mengucapkan
kata-kata Fajar? Apakah dia tahu nama mantan pacarku saat ini adalah Fajar? Dan
langsung saja tertera panggilan dilayar Handphone
ku atas nama Fajar, kenapa selalu secara bersamaan sepeti ini Tuhan?
“Hallo Ndah.. maaf
begitu mengejutkan. Apakah kali ini kamu baik-baik saja?” tentu saja
pertanyaan Fajar kali ini tanpa jawaban sepatah katapun dari bibirku. “Sayang,
apakah aku berpikirakan meninggalkanmu? Kenapa kejam sekali kamu sempat
berpikiran seperti itu?”, lontaran pertanyaan dari Fajar kian tak aku mengerti.
“Maksud kamu?” tuuut.. aaaargh lagi-lagi dia memutus sambungan panggilan hah
entahlah, aneh sekali aku menanggapi perihal seperti ini, terlalu banyak
kejanggalan.
“Assalamualikuuum..” suara salam terdengar dari ruang
tamu. “Waalaikumsalaam..” dengan rambut kusut dan wajah berantakan aku keluar
menuju ruang tamu, seakan tak percaya ada apa lagi farel datang kemari?
Kemudian dengan cengir-cengir kuda dia mengangkat handphonenya dan membuat suatu panggilan entah untuk siapa. Secara
bersamaan handphoneku bergetar lagi,
waduh Fajar lagi. Dengan sigap tanpa malu-malu aku mengankat panggilan Fajar di
hadapan Farel. “hallo selamat fajar..” suara Farel dan Fajar secara serentak
bersamaan dengan nyata dan dengan sambungan panggilan. Aku diam tercengang,
napasku seolah terhenti. Apakah selama ini Fajar itu Farel dan sebalikya? Ya
Allah ini keajaiban. “biar ku jelaskan, apa maksudku memintamu memberikan rindu
di pagi hari dan sengaja pura-pura memutuskanmu di waktu petang agar aku tahu
bahwa cintamu tak terbatas waktu berganti. Dan kenapa aku menjelma sebagai
Fajar karena agar aku tahu jika kamu mempercayai fajar tidak hanya sebatas
jarak, penampilan ataupun segalanya. Terimakasih telah mempecayai aku yang
sebagai Fajar selama ini, terimakasih juga sudah sangat sangat sabar menghadapi
aku Indah. Aku hanya ingin sesuatu yang abadi tentang yang berawal atau
kusimbolkan pagi ataupun fajar tidak akan meredup sinarnya ketika petang ataupun
jingga di ufuk barat yang semakin meredup dimalam hari. Aku hanya ingin wanita
yang selalu bersinar Indah seperti dirimu dengan tanpa kamuflase seperti
rangkaian cerita yang sengaja ku buat-buat selama ini. Semoga sinarmu secerah
pagi ini Indah untuk Farel ataupun Fajar. Selamat ulang tahun sayang..
tumbuhlah menjadi wanita dewasa yang setia”. Farel menjelaskan panjang lebar
kalimat atas kejadian selama ini sambil menyodorkan setangkai mawar merah.
Dia mendekat dan mengelus kepalaku dengan lembut dan hangat.
“Terimakasih telah mengijinkanku lagi menatapmu pagi ini jar.. eh maksudku rel
haha aku cuma inginkan aku bisa menapmu bukan hanya untuk hari ini tetapi juga
untuk selanjutnya” jawabku malu-malu sambil aku tersadar ternyata kami telah
lama jadian. “Iya sayang, mana mungkin aku menghentikan cinta ini sampai disitu
haha” dia masih saja dengan gayanya yang santai. Halaah terlalu tidak mungkin
untuk aku meninggalkannya, dalam kebohongan saja aku hampir mati karenanya. Dan
ini lebih dari itu semua, “Siapapun kamu,
kita akan tetap bersama, hingga akhirnya kita bisa menatap pagi berikunya.”
Profil Penulis :
Eka Ratna Sari biasa di panggil Eka, lahir di Metro 21
Januari 1995. Alumni SMPN2 dan SMAN 2 Kota Bengkulu. Sekarang berkuliah di
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Bengkulu Jurusan DIV Kebidanan. . Ingin mengenal saya lebih dekat, bisa
dihubungi melalui akun Twitter @ekaratna_s / @_eka_rs_ dan blog
ekars21.blogspot.com. e mail: ekars21@gmail.com