Jumat, 18 September 2015

Assalamualaikum mas :')





Mas.. maaf sebelumnya, mungkin kegelisahanku mengganggumu. Kita? Ya kamu dan aku, entah dengan cara apa Tuhan mengenalkanmu padaku. Dari waktu, aku lupa tentang jarak, rupa dan keberadaan. Dan memang  bukan hanya aku yang kamu kenal sebelumnya. Aku yang wujudnya tak pernah datang dalam puluhan meter saja. Tapi ketahuilah mengenai tulisan ini, karena banyak yang ingin aku sampaikan.
Maaf, aku lupa pribadiku adalah hawa yang keturunannya bukan aku saja. Dan begitu pula rasa, pastilah ada kesamaan juga. Mas, aku sering diam-diam menjadi stalker kamu, sebatas mencari kabar atau pun hanya ingin tau. Waktu itu, aku melihat siapa saja yang aktif memberikan reaksi kepada postingan kamu di salah satu sosmed. Aku penasaran, lalu aku tambahkan menjadi teman. Namun responnya menarik sekali, belum sampai menit permintaan pertemananku di tanggapi. Aku senang, wah mbaknya ramah.. namun seiring perbincangan ada hal-hal yang lama lama membuat aku ragu. Jawabannya seolah dia kesal atau tiba-tiba menjadi jutek. Aku penasaran, selalu aku stalking dia namun sikapnya seperti ada sesuatu terhadapku. Aneh, dia mulai menunjukan sikap labil, mulai dari memprivasikan akun, menggati foto dengan quote galau, menyukai otomatis mengshare hal-hal galau sampai kemudian mengganti foto menjadi tak berjilbab namun sekarang sudah diganti kembali. Astagfirulloh.. ini membuatku sedih. Walaupun dia bukan aku, tetapi aku merasakan di posisi seperti dia juga dan posisi dimana menjadi aku sekarang. Sungguh, bukan maksud aku apa, aku cuma ingin berteman baik dengannya, tapi lagi-lagi aku sering kali sesak,Berkali-kali “maaf” yang aku ucap di perbincangan kami. Apalagi tadi pagi, aku tidak sengaja mengintip profil dia lalu karena terburu buru apel, tombol touch yang tertekan sehingga menyebabkan timbulnya percakapan lagi. Dan berakhir begitu lagi, “maaf” lagi.. yang sepertinya tidak di indahkan oleh dia mas, sesak sekali rasanya.  Kembali lagi menghela napas, untungnya aku menjawab chat setelah selesai uts hari ini, masih bersyukur tidak mengganggu ketenangan  uts tadi. Ternyata pura-pura tidak tau itu sakit ya mas J.
Aku tidak tau apa reaksimu membaca tulisan ini mas. Mungkin aku akan malu-malu, atau aku lupakan pernah memposting ini. Rasanya takut sekali menceritakan ini, takut mengganggu kesibukannmu padahal ini dari sebelum kamu ukom mas. Kamu tau, malam yang aku terbangun dari tidur waktu itu dan sewaktu aku membuat status di bbm “ya Allah mudahkanlah :’) ”, aku kira kamu belum tidur, tenang sekali rasanya ketika kamu tiba-tiba muncul di chatku waktu itu. Untung saja aku punya Tuhan yang selalu mendengarkan ku bercerita dan menampung doa-doaku. Jarang sekali aku bercerita kepada Sang Wahab mengenai laki-laki apalagi bukan dari keluargaku, seperti sesuatu yang mustahil, namun kembali lagi aku meminta kemudahan dalam urusan dunia dan akhirat, urusanku, urusanmu, urusan itu, dan yang sekarang.

Mas, aku lupa apa lagi harus aku ceritakan sekarang. Maaf mas, aku tidak pernah memaksamu membaca tulisan ini. Aku minta maaf belum berani bercerita semuanya. Terimakasih mas, senang bisa mengenalmu. Aku pribadi yang lugu untuk soal perasaan, hal yang selalu aku ragu-ragukan. Mendekatinya saja sudah membuatku sakit J. Tetapi Allah S.W.T tidak menyukai orang-orang yang mudah putus asa. Aku sangat menyantuni agamaku, apalagi perihal mulainya hidup, umur, jodoh dan segala sebab-akibat di bumi aku kembalikan pada-Nya. Tetap bersabar. Bismillah..


Bkl, 17-09'15 , 11.20 PM

Rabu, 16 September 2015

LAPORAN KEGIATAN DIVISI JURNALISTIK PERIODE BULAN FEBRUARI-JULI 2015

LAPORAN KEGIATAN DIVISI JURNALISTIK
PERIODE BULAN FEBRUARI-JULI 2015


Penanggung jawab/Coordinator : Eka Ratna Sari
Anggota/Staff                                :  1. Rin Arlita
                                                            2. Mutmainah           

1.                  Acara                           : Mem-Postingkan hasil kegiatan pada blog DIV Bidan Poltekkes Kemenkes Bengkulu
Tanggal                        : 15 Februari 2015
Bukti kegiatan             :






2.                  Acara                           : Mem-Postingkan hasil kegiatan pada blog DIV Bidan Poltekkes Kemenkes Bengkulu
Tanggal                        : 18 Februari 2015
Bukti kegiatan             :

3.                  Acara                            : Dokumentasi Kegiatan “Woman’s Day”, isi acara; Pentas Seni, Pemilihan Duta Kebidanan, Pemilihan Dosen Ambassasor Gold Woman
Tanggal                        : 3 Maret 2015
Bukti kegiatan             :












4.                  Acara                           : Mem-Postingkan hasil kegiatan pada blog DIV Bidan Poltekkes Kemenkes Bengkulu
Tanggal                        : 14 Maret 2015 (Late Post)
Bukti kegiatan             :

5.                  Acara                           : Dokumentasi Serangkaian Macam-Macam Lomba Dies Natalis ke-XIV
Tanggal                        :9 April 2015-selesai
Bukti kegiatan             :

















6.                  Acara                           : Dokumentasi Pelaksanaan FGD
Tanggal                        :21 April 2015
Bukti kegiatan             :

7.                  Acara                           : Dokumentasi Acara Safari KB di Sport Center Bengkulu
Tanggal                        : 09 Juni 2015
Bukti kegiatan             :





8.                  Acara                           : Dokumentasi Pelaksanaan PPS DIV Kebidanan Angkata III (Kegiatan Belum Memasuki Kalender Akademik 2015/2016)
Tanggal                        : 30 Juli 2015
Bukti kegiatan             :





Rabu, 05 Agustus 2015

Detak di Detik Pertama (Poetry)

Detak di Detik Pertama
Oleh Eka Ratna Sari

Asaku merekah pujangga
Menyulam puisi dari bahasa
Tatkala kata ungkapkan rasa
Masih tentang tama yang Pratama
Atas bara yang sama

"Tak..." bisa jemari menge-"Tik…" padaNya
Memilih Tak atau Tik dalam surga bersama
Layaknya temu dari taktik kuasa

Berdegub jantung sang hawa
Satu saf berjalan di belakang imamnya
Mengisahkan sebuah syair legenda
Ketika detak di detik pertama

Bengkulu, 04/08'15

Danke fá¹»r ; AP–Bandar Lampung

Kamis, 11 Juni 2015

Seperti Benang Ini (puisi)


Seperti Benang Ini
Oleh Eka Ratna Sari


Sudah lama, beliau tak kunjung lurus
Mata pun “cuih” malas meratapinya
Meskipun tetap kusut
Seperti inilah, seperti ini saja

Mereka hanya takut
Takut rapuh..
Belum sempat jua terlepas dari simpulnya
Seperti inilah, seperti ini saja

Cuma melihat saja?
Tak mampu luruskah kakanda?
Sama saja..
Di sini aku atas nama “saya”
Tertanda ingin mengubahnya

Ternyata saja..
Seperti inilah, seperti ini saja
Tak dapat berubah
Sebab adinda_

Bengkulu, 24 Januari 2015


Profil penulis :
          Eka Ratna Sari , lahir di Metro 21 Januari 1995. Alumni SMPN2 dan SMAN 2 Kota Bengkulu. Sekarang berkuliah di Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Bengkulu Jurusan DIV Kebidanan. Akun Twitter @ekaratna_s dan blog ekars21.blogspot.com. e mail: ekars21@gmail.com.






Rabu, 10 Juni 2015

Salam Cerita Hijrah

Salam Cerita Hijrah
Oleh Eka Ratna Sari


Salam untuk Tuan pangkuan alam
Sebelum benda ini mulai tergaris
Menjulur dari telapak hingga leher
Para eyang tak pernah beri tahu
Bahwa aku si penggelitik pikirannya

Salam salam untuk yang lalu
Meski tangan sebatas angin pemegang detik
Bersyukur pada luka yang tersungkur

Salam salam demi salam di kenang
Ketika sudah luluh riwayatnya
Mengambil ruh dalam diam
Meminta teman seperti lawan
Sekarang hijrah yang bercerita
Tentang fajar yang terkubur
Ah.. kita sudah hijrah




Bengkulu, 27 Februari 2015

Selasa, 09 Juni 2015

Jalan Berbahasa

Jalan Berbahasa
Oleh Eka Ratna Sari


Di jalanan tadi,
Setapak mengarahkan agar selalu di lewati
Sempat aku cari kumpulan rumput teki
Mereka mengoceh tanpa basa basi
Dalam sandinya, selalu membawa kunci
Sayang… pikun aku mengartikanmu lagi

Menemukan jejak kaki,
Langkah yang barusan aku lanjuti
Tersandung aku pada duri satu senti
Berhormat dia sampai kesini
Ucapannya sulit aku telusuri
Sayang… mencari makna aku alergi

Hingga perbatasan daerah ini
Kompas tak lagi mengarahi
Kami seolah saling membenci
Sikapnya mengurungkan niat hati
Sayang..  ciptakan kamus untuk aku terjemahi


Bengkulu, 02 Juni 2015















Selasa, 19 Mei 2015

Di Sudut Marlborough


Di Sudut Marlborough


Masih teringat pada menit-menit terakhir suasana rindu yang terganti sedih, kilauan rintiknya tak dapat lagi tertutupi payung hitam. Di sini, paling tidak bumi juga pernah bercerita tentang kisah lama untuk di bertamukan kembali semoga saja tak seperti kedukaan panas sewaktu menjajah negeri. Aku masih terpojok pada bangunan Bengkulu ini, dimana kelam sejarahnya tetapi masih di pertahankan ceritanya dan andai ini disamakan dengan memori ingatan manusia yang dulunya pahit tapi tak pernah basi untuk dipikirkan setiap insan.
            “Kita masih disini cantik..”, suara ini tenang saja mengalahkan angin pantai panjang di bawah bukit buatan ini. Mengangkat kepala adalah caraku meresponnya “ha hai.. kalian disini?”, kata ini keluar dengan ragu dari mulutku. Senyum lirih sambil bergetar, aku kaku, aku takut, aku kesal. Anjani dan Fitri mendekati diri dengan raut wajah yang sama bingungnya. “Dia bersama yang baru, Ni”, mereka menoleh serentak. Sekarang tanda Tanya mulai pindah memahat pikiran mereka berdua. “oh gusti, kamu serius? Lalu? Ayolah coba move on sayang”, Fitri mulai bicara. “Ini sudah terlalu lama baby. Sudah saatnya say kamu bergerak untuk kehidupanmu bukan untuk menunggu hidup orang lain”.
            Kami berdiri saling menggatikan langkah kaki sampai tepi jembatan pintu bangunan benteng. Terlihat sepasang mata menjatuhkan sorotnya pada kami. ”Wah.. ayah cari ternyata kamu disini, ayah kira kamu tadi pergi kemana Ni”, pria ramping dan tinggi ini menyodorkan makanan yang ada di tangannya, “mau? Ini seafood goreng yang ayah beli di pedagang kaki lima”. Harum kepiting dan udang goreng yang menggugah selera, tetapi suasana hati membuat semua makanan itu menjadi hambar.“Aku kenyang”, jawabku dengan padat, sudah hampir dua tahun sejak ayah tak pernah merestui hubunganku dengan Andy. Aku kecewa waktu itu, padahal kondisinya aku sudah putus dengan Andy, tetapi ayah yang mengira bahwa aku dan Andy pacaran dan beliau sangat menentang keras atas hubungan kami.
            “Orang tua sangat mengerti yang terbaik untuk anaknya”, Anjani menepuk pundakku lalu mengikat cengir tipis bersama Fitri, seolah hanya mereka berdua yang tahu kemudian pergi berlari kecil kearah angin menuju bibir pantai. Aku harus berhadapan dengan kondisi ini, dimana kedekatan tak lagi menimbrung entah sahabat ataupun keluarga tidak satupun yang peduli.
***
            Aku terus mencengkam kertas ini, ayah menjanjikan tentang perihal yang katanya aku harapkan. Aku tak menganggapnya kejutan atau apa, karena terlalu sering ayah memberikanku peta mini ketika aku masih kecil dan menyuruhku untuk datang tepat waktu, biasanya saat ulang tahunku. Tapi kali ini berbeda, entah peristiwa seperti apa lagi yang akan disumbangkan oleh ayah, di hari yang bukan hari kelahiranku.
            Warna jingga cuaca sore ini menyilaukan mataku, terkejut melihat raga milik siapa di hadapanku. Lelaki ini aku sangat mengenalnya, walaupun hanya bayangnya yang tertinggal sekalipun tak kan pernah terlupakan. Aku membaca wajah kesal di raut mukanya, sepertinya ragu. Lantas ku abaikan sejenak dia dan menatap kearah peta mini yang ayah berikan.
            Sebenarnya aku tak pernah tahu untuk apa semua alasan ini, layaknya dejavu. Ini terlalu berkesan untuk ku telusuri. Kenapa semua keluarga dan kerabat dekat ada di sini, kemudian ada sekumpulan keluarga lain yang tak juga asing. Ayah mendekat dan mengibaskan tangannya bermaksud menyadarkanku “telusuri peta itu, maka kamu akan mendapatkan kebahagiaan”, beliau menunjuk ke arah pojok atas sana. Luapan penasaran meronta mengikuti arah, aku berlari lepas kendali.
            Uh.. napasku masih belepotan, aku berhenti pada sudut gedung benteng bagian tinggi ini, menekukkan lutut seraya bersujud, “apa ini?”. Dia mengambil jari manis ku dan memasangkan dengan nyaman benda itu. “Hahaha ternyata kita sama-sama kena jebakan tuan kapten, Alhamdulillah”, hei dia laki-laki yang kutemui di depan tadi. Aku memalingkan wajahku malu ke arah tulisan tapak Paderi. Benar saja Anjani dan Fitri yang dari tadi ternyata mengiguti kami bersandar pada meriam yang sudah ratusan tahun umurnya. “Riani biar ku jelaskan, tidak sengaja aku memutuskan hubungan kita karena aku dijodohkan oleh orang tua kita. Dan ternyata dia adalah kamu”, Andy menyapa mataku dengan pekat sampai aku tak tahu lagi harus dialihkan kemana pandangan ini.
            Ku kira sebelumya tempat mensejarah tak layak untuk di sejarahkan lagi. Dengan material bata yang jumbo dan adukan semen tangan-tangan terjajah, menyatukan kokohnya tempat ini. Seperti menyatukan batin kami disini. Sekarang keluarga aku dan Andy menjadi padu mencetak sejarah lagi di bangunan ini dengan pertunangan ala klasik sejarahwan. Hal lain yang ku mengerti tentang keharusan manusia memuji berkas lalunya agar dengan cerita baru seperti kisah di sudut Marlborough petang ini.


Profil penulis :

            Eka Ratna Sari biasa di panggil Eka, lahir di Metro 21 Januari 1995. Alumni SMPN2 dan SMAN 2 Kota Bengkulu. Sekarang berkuliah di Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Bengkulu Jurusan DIV Kebidanan. Akun Twitter @ekaratna_s / @_eka_rs_ dan blog ekars21.blogspot.com. e mail: ekars21@gmail.com

Minggu, 03 Mei 2015

Sore dan (A)Roma

Sore dan (A)Roma
Oleh Eka Ratna Sari




Arus angin tak ubahnya
Dalam dimensi senja ini
Yang satukan ruang tanpa antara

Padahal (A)roma syukur kita jumpakan
Rahmat menyentuh seisi kota
Assalamualikum Roma…
Terimakasih kuasa Tuhan, dan kamu juga
Awal dari cerita sebelum biasa
Memanggil relasi jiwa pada getar aura,
Amor(A) dan Eros bernuansa

Bengkulu, 27 April 2015

FOR SOUL OBJECT (A)DYPRTM

Menatap Pagi Berikutnya (cerpen)


Menatap Pagi Berikutnya


            Jalanan ini masih saja sepi, suara iringan kendaraan terdengar dengan jeda yang biasa. Ah mungkin ini karena terlalu pagi. Aku mengendarai kendaraan ini seperti ingin mengiringi siapapun yang ada di depan. Sengaja aku memelankan gas motor agar dapat lebih lama melihat indahnya embun menutupi danau pagi ini. Aku memasang wajah binar-binar secerah mentari pagi, hmm mungkin layaknya ceria atau apa. Sambil melihat handpone, jujur saja aku menunggu sesuatu pemberitahuan di benda itu, entah sekedar pesan atau mungkin sebuah panggilan kecil dengan sapaan “hello, apa kabar?”, “lagi ngapain?”, “sudah di kampus atau belum?”
Tiiiiit… bunyi klakson motor menghentakkan lamunanku. “heii.. kenapa pelan sekali bawa motornya?” seraya dia yang suaranya terasa ku kenal malah tersenyum menghampiri dengan ikut memelankan motornya. Aku menoleh ke samping, dia yang seperti itu menunggu jawabanku, “oh.. hahaha Cuma mau nyantai dikit pagi ini.. ga lucu kan seriusan terus, lagian hari ini aku ga apel”. Sudah ku jawab begitu, senyumnya masih saja tak punya tanda koma, mungkin sudah terbiasa melatih keramahan wajahnya.”wohoho.. okelah kalau begitu, aku kira kamu lagi putus asa. Jadi mau lompat gitu ke danau sama motornya kamu hehe biar di kata anti mainstream wkwkwk”, kali ini dia lepas mengungkapkan leluconnya sambil memegang perutnya menahan tawa.
Untuk sekarang aku terdiam sambil menggelengkan kepala, sudah lama tidak melihat dia seperti itu yang biasanya dengan kecanggungan. Aku baru sadar tidak seharusnya dia disini, mungkin sedang liburan ke kampung halamannya ini. Mana mungkin dia dengan sengaja keluar dari jalur kampus hanya untuk sekedar berlibur, apalagi harus meninggalkan Yellow Jacket kebanggaannya hahaha, Farel. “udah ah.. kayaknya aku mesti sedikit buru-buru, waktu aku udah kepotong karena ngobrol sama kamu hehe kalau mau ngajak ngobrol cari waktu yang tepat dong”, belum sampai 30 detik Farel mengangkat alisnya,  breeeem.. aku mengebutkan motor ku, yang sebelumnya hanya berkecepatan 20 kilometer per jam. Mungkin terlihat tidak sopan, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk sebatas obrolan teman lama, setidaknya dia juga mengerti tentang aturan kampus dengan jurusan kesehatan seperti aku, padahal sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku ceritakan kepadanya tentang hari-hariku di sini sepeninggal dia.
***
“ciee rajin amat, ga pernah terkalahkan sama pak cleaning service buat ngebuka pintu kelas”, suara risa memecahkan keheningan di sekitarnya. “hahaha ga kok, Cuma sekedar rutinitas aja”, aku tersenyum tenang dengan bahasa tubuh sedikit kaku. “Ada yang beda ya ndah? Ada yang mau kamu ceritain atau gimana gitu?”, sekarang aku takhluk untuk berbohong “haha ga kok, Cuma…”, sekarang aku terdengar dengan beberapa keraguan. “Cuma apa? Cerita dong, kamu baik baik aja kan sama si Fajar?”, Risa melanjutkan Tanyanya dengan wajah keingintahuan dan terlalu polos. “hayooo ada apa??”, dia menambahkan pertanyaan lagi bahkan sebelum aku menjawab pertanyaan sebelumnya. “sa, selama aku ngejalanin hubunganku dengan Fajar satu minggu ini, terlalu banyak perbedaan sa.. padahal lama hubungan kita baru berjalan satu minggu” jawabku pelan, “apa kamu ragu Indah?” Risa menoleh.
“Bukan, bukan seperti itu. Mungkin aku pertama kalinya ini mengalami Long Distance Relationship. Tapi percayalah, aku sayang sama dia, aku selalu merindukan dia bahkan selalu menunggunya untuk menghubungi aku lebih dulu walaupun memang karena kesibukan kita yang berbeda dan di tempat yang berbeda aku sering lupa untuk sekedar membalas sms darinya. Tapi ini benar-benar bukan dari kesengajaan”, aku melontarkan kata dengan sejelas jelasnya kepada Indah. Dia terlihat mengernyitkan dahi “ah apa iya seseorang yang belum bertemu sama sekali, bisa menjalani hubungan tanpa kebohongan. Bahkan orang yang sudah kenal lama saja masih sering menipu pasangannya sendiri, maaf ndah bukanya mau menakut-nakuti. Tapi ini cerita dari kenyataan yang kamu alami dan kamu memilihnya” penyataan Risa ini seperti melewati batas sopan untuk menjaga perasaan sahabatnya sendiri, aku bahkan sempat tak ingin menanganggapi sepatah katapun dari semua kata yang dia ucapkan.
Grrrr.. handphoneku bergetar, layarnya menjadi cerah seperti ada pemberitahuan yang mengharuskan aku untuk peduli dengan benda itu, “wah, ada sms.. hmm Fajar”, aku membuka pesan itu seperti seseorang yang benar benar mengharapkan sesuatu hingga mengabaikan dengan siapa aku berbicara. Risa memperhatikan gerak gerik sahabatnya ini sambil tersenyum dan angkat bicara, “siapa pun yang ada bersamamu setiap kali itu hal yang membuatmu tersenyum, aku tanpa ragu mempercayainya untuk kamu yang mempercayaiku sebagai sahabat”, Risa terlihat serius dengan kata-katanya, pikiranku mulai tergoyah. Aku takut mengecewakannya, aku takut bahwa orang yang aku pilih ini adalah suatu yang salah atau mungkin kebahagiaan sesaat yang membiarkanku untuk menduakannya, menduakan sahabatku sendiri.
 Belakangan ini, aku sedikit tak memperhatikan Risa. Aku lebih memilih untuk bersama handphone sebagai teman bermain. Pesan singkat Risa yang biasanya aku balas dengan hitungan detik, kini aku lebih mendahulukan membalas pesan dari Fajar dengan alasan. “kita kan bisa bertemu hampir setiap hari, sedangkan kalau Fajar, melihat batang hidungnya langsung saja aku belum pernah”. Jujur saja, sebenarnya Risa tidak setuju mengenai hubunganku dengan Fajar. Dia lebih menyukaiku jika aku bersama Farel, mungkin karena dia lebih mengenal Farel daripada Fajar. Alasan seperti ini sering kali tertangkap olehku secara tidak langsung ketika kami berkomunikasi.
***
Hari ini, tepatnya sabtu pagi, aku mengitari jalanan kota Bengkulu seraya mencari tempat makan yang sebelumnya telah di pesan oleh Farel. Farel meninggalkan pesan kepadaku melewati Risa, entah apa yang ingin dia sampaikan kali ini. Sudah begitu lama sejak penyataan itu kami tidak lagi terlalu akrab. Farel sempat menyatakan cintanya kepadaku beberapa tahun yang lalu, namun tak pernah aku tanggapi samai pernah aku jawab tidak. Sekarang dia tumbuh sebagai seorang laki-laki dewasa yang hidup bersama ambisinya. Padahal diam-diam aku yang menyimpan kesalahan ini karena selalu menganggapnya tidak ada namun seringkali ingin tahu tentang kabarnya. Dan selalu secara kebetulan pula, sesuatu sering seolah olah mengunkapkan keberadaan dan kabarnya tanpa harus aku Tanya. Misalnya, wajahnya terpampang nyata di suatu lomba akademik yang di menangi oleh dirinya sendiri di televisi padahal aku tanpa sengaja membuka stasiun TV itu, dan ada juga namanya di surat kabar atau media elektronik mengenai dia yang lagi-lagi memenangkan lomba kemudian masuk ke Universitas terpandang di Indonesia tanpa memalui jalur tes. Sungguh ambisinya yang membara itu terkadang menjadi patokanku sebagai model motivasi sewaktu aku lemah dan tidak bersemangat ketika menjalani studiku.
“Eeheeem…”, terdengar laki-laki yang sengaja mengeraskan suaranya di hadapanku. Oh Tuhan kenapa aku sempat tidak melihat dia yang duduk memandangiku hingga beberapa menit. “udah lama nunggunya ndah? Atau aku yang paling lama nungu kamu termenung dari tadi? Haha ga peka banget aku dari tadi di sini”, wah sejak awal pertemuan kami pagi kemarin gaya bicaranya sudah menjadi santai, dia tidak lagi kaku atau mungkin sudah terbiasa berhadapan denganku di dalam angannya. “Eh iya..”, aku masih belum terlalu bangun dari lamunan tadi yang menemaniku sebelum dia datang. “kamu sejak kapan datangnya? Kenapa tadi ga ada tanda-tanda kalo kamu datang” tanyaku terkejut. “Aku datang lebih awal daripada kamu, masa kamu ga tau aku dari tadi duduk di sudut sana melihat kearah pantai hehehe aku heran dari tadi ngeliat kamu waktu datang kesini seperti membawa beban. Jadi aku sengaja dari tadi memperhatikan kamu dari jauh. Tapi, waktu aku kemari kamu malah tetap saja seperti tidak melihat kehadiran apapun”.
“Oh iya, maaf-maaf hahaha.. lagian siapa suruh kamu nungguin aku di pojok sana wkwkwk”, aku sengaja memecahkan pembicaraan supaya dia tidak terlalu banyak Tanya. “Akhirnya pesanku melalui risa tersampaikan, kata Risa dia ga bisa jamin kalo kamu bisa ada di sini sekarang”, Farel langsung saja mencari bahasan obrolan yang ada di otaknya. “Loh, memangnya kenapa? Kenapa dia bisa ragu? Kita kan sudah lama banget ga ketemu, wajar kan kalo aku bisa ada di sini”, aku mencba menjawab sewajarnya sambil mengunyah makanan yang dari tadi sedikitpun belum aku sentuh.
“Indah Dwi Larasati”, dia tiba-tiba memanggil nama lengkapku, seakan menghidupkan lagi pembicaraan yang dari tadi dalam kekosongan. Sepintas saja aku menoleh kearahnya tanpa bertanya atau mengeluarkan kata-kata. Farel tiba-tiba menunduk diam tanpa kata dan menarik napas dalam sambil menyeruput Mocca Float dalam genggamannya. Kali ini dia mulai mengangkat wajahnya  yang dari tadi ia tundukan. “Ndah.. bisakah kamu mengajarkan aku bagaimana caranya agar tidak mencintaimu, bagaimana melupakanmu dalam cinta?” kali ini dia sungguh tanpa batas dan melanjutkan kata-katanya “tolong aku ndah.. seberapa banyak hari yang kulewati, yang ku tempuh dengan ambisi cita-cita ini, kenapa kamu selalu ada disini?”, suara Farel bergetar yang diikuti getaran tangannya yang menggenggamku dari tadi dan kemudian sembari meletakkan tanganku di dadanya.
Udara pagi yang tadinya dingin seketika memanas. Aku seperti patung tanpa nyawa di hadapan Farel bahkan bergerak sedikitpun aku merasa segan. Aku tertunduk lemah, sebegitu tanpa daya entah apa yang aku pikirkan dan entah apa yang Farel pikirkan. Sedikit menggelengkan kepala dan melihat kearah sisi ombak yang menggulung di pantai sana mungkin adalah caraku kali ini, “maaf aku tidak pernah tahu Farel”, sungguh Tuhan dengan cara apa lagi aku menjelaskannya, aku sangat-sangat kehilangkan kata di saat ini. Berapa kali ribu maaf yang harus aku ucapkan sejak aku mengenalnya dan harus berapa kali pula tolakan dengan kata “tidak” untuk setiap kali permintaan darinya.
“Rel, apa Risa belum pernah cerita kalo aku…”, kata-kataku kemuadian dipotong olehnya. “sssstt.. cukup, aku tahu. Aku tahu kalau kamu udah punya pacar. Maaf karena hadirku selalu membawa kebingungan, tadinya bukan ini yang ingin aku sampaikan. Tapi begitu aku melihatmu entah mengapa hanya ini yang ingin aku sampaikan”, kemudian Farel membalikan tubuhnya lalu pergi kepojokan sebelah sana semakin mendekat ke pintu kaca membiarkan angin laut menampar wajahnya.
Grrrrr.. tiba-tiba Handphoneku bergetar, ada pesan yang masuk, namun seketika itu juga ada panggilan masuk “apa? Fajar?” , lirihku dalam hati. Kenapa dalam waktu bersamaan seperti ini. “Farel, boleh aku permisi sebentar?” belum sempat Farel menjawab, aku langsung pergi meninggalkannya. “Hallo ada apa mas? ”, “hallo selamat pagi sayang”, “kenapa suaramu kurang jelas?”, “oh ini aku lagi di luar”, “bisa tolong beri jeda aku untuk merindukanmu sekarang? Coba kamu keluar sebentar kemudian lihatlah kearah timur, dia begitu indah”, “iya sayang, aku melihatnya”, “sayang, bisakah kamu selalu berpikir cinta kita tidak seperti matahari ini?” aku kebingungan, dia ini kenapa sebenarnya. Kenapa di saat seperti ini, dia seolah memberi seolah menatap ketidakpastian dariku. “mas, maaf kamu kenapa?”, tuuuut jaringan terputus. Aah sial, jantungku berdebar dan berdetak begitu cepat bersama peristiwa yang terjadi sepagi ini.
Langkahku kembali duduk di hadapan Farel, melihatnya yang kian menungguku dari tadi. “bisa aku pergi duluan sekarang, aku mau pulang.. aku lelah karena kegiatan kemarin”, mulutku membuka sedikit ragu, membayangkan betapa banyak kesalahan yang aku buat selama dia mengenalku. Ini memang hanya sekedar alasanku untuk menenangkan diri agar bisa pergi dari hadapannya. Farel berdiri, tersenyum dan meninggalkanku lebih dulu sambil mengucapkan “Wassalamualaikum Indah”. Aku melihatnya dengan keyakinan penuh bahwa dia pasti bisa untuk melalui ini, aku sangat sedih ketika melihat muka pucatnya seperti kebingungan. Namun aku tahu dia pasti bisa “Waalaikumsalam Farel, hati-hati dijalan”, aku mnejawab salam perpisahan yang tertunda karena lamunan ini.
***
Sore ini, kenyamanan hati sesaat yang kudapat sejak mengalami beberapa peristiwa tadi pagi. Sekarang aku kembali menggenggam handphone yang sudah lama dari pagi tadi tidak tersentuh lagi. Wah ternyata ada pesan masuk, eheem lagi-lagi dari yang tercinta fajar. “Bisakah kita sudahi saja yang sebatas hubungan ini agar kamu tahu tentang maksud yang ku ucapkan tadi pagi? ”, aku tersentak, air mata jatuh tanpa mengucapkan salam. Apa maksud dari semua ini? Jariku semakin lihai mengetik pada keypad handphone  di tanganku “Apa maksud semua ini sayang? Kenapa begitu cepat? Apa kamu Cuma mempermainkan aku selama ini?” aku duduk membeku lesu menunggu balasan pesansambil berharap dia menyatakan bahwa semua yang di katakannya sekedar candaan.
Sementara sambil berusaha berdiri bangkit dengan langkah dan pandangan hampa aku membuka dan menatap pesan itu dengan jawaban “iya”, dalam sekejap handphone itu melayang ke atas tempat tidur nyaris saja menyusur di lantai. Secara spontan aku menjatuhkan tubuh ke tempat tidur dan menutupi kepalaku dengan bantal lalu menangis sejadi-jadinya agar tidak ada yang tahu. Ingin rasanya ku teriak ya Allah, sebagian tubuhku memaksa lepas dari hidupku. Terasa pedih sayatan ini sampai mencakar pada tubuh kuadran bawah sebelah kanan yang bisa di sebut hati.
Sejenak terpikirkan olehku saat ini, mungkin aku masih punya sahabat yang pasti akan mengerti. Tanpa basa basi aku meraih handphone yang tadinya aku lemparkan dan mencari nama Risa di sana, “hallo Risa” suaraku terdengar parau, tanpa salam aku menyeloteh. “hallo.. ada apa? Apalagi yang terjadi?”, Tanya Risa dengan suara datar. “aku putus sa..”, kali ini aku tidak dapat menahan tangis, suara sesak mungkin terdengar disebelah sana. “Apalagi yang kamu mau ndah? Tadi siang Farel cerita kalo kamu menolak dia lagi, kamu ini sadis atau apa? Sekarang kamu bilag kalo kamu putu? Udah bisa ngerasa nyesal sekarang?” Risa meninggikan nada bicaranya, sungguh ini bukan Risa sahabatku yang biasanya. “Sa.. maafin aku, kenapa kamu jadi semarah ini sa?”,aku meminta Risa untu menjelaskan lebih masih dengan suara parau. “Iya aku marah sama kamu, terlalu banyak pengorbanan orang-orang untuk kamu. Bukan cuma Farel tapi juga aku”, aku sangat tidak mengerti maksud dari ucapan Risa saat ini, aku terdiam.
 “Kamu ga pernah tahu ndah, berapa lama Farel menunggu untuk kamu. Dan kamu juga ga pernah tahu ndah berapa lama sakitnya aku melihat Farel yang selalu menunggu kamu dan bahkan tidak mneoleh kearahku sedikitpun, entah apa yang dia lihat kearahmu ndah. Kamu jahaaat ndah.. aku sudah lama mencintai Farel sementara kamu yang dicintainya dalam hitungan detik selalu menolaknya begitu saja dan lebih memilih dengan orang yang sama sekali tidak kamu kenal dan entah bagaimana wujudnya. Aku akan sangat berterimakasih jika kamu bisa menerima Farel sebagai kekasihmu. Tapi kenyataanya Kamuu jahaaat!! Dasar bodoh.. aaarggh” tuuuut.. sambungan selular sengaja diputuskan oleh pemiliknya dari kejauhan.
Tubuhku lunglai seketika, pandanganku tiba-tiba meredup kemudian tubuhku tersungkur ke lantai. Duup… aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Rinai mentari kembali menyambut hari ini, seperti hidup sendiri. Dengan lesu aku berjalan gontai keluar, uuh begitu silau tetapi embun masih saja menutupi sela-sela ranting yang diam saja di sisi perkarangan rumah. Semuanya terlihat berantakan, bukan hanya kamarku, begitu juga dengan penataan alam diluar sana mungkin karena hujan deras yang mengguyur tanah semalam.
Grrrrrrr… benda terkutuk ini bergetar lagi, serasa enggan aku menyentuhnya. Namun siapa lagi yang bisa temani diri selain benda ini sekarang, bahkan sahabat pun tak akan pernah peduli.”Selamat fajar sayang.. sudahkah kamu menemukan arti di pagi kemarin sampai saatnya petang hingga malam menjelang?” from Farel.  Aku semakin terhenyak tanda Tanya sempurna yang menggerogoti otak ini, kenapa Farel mengucapkan kata-kata Fajar? Apakah dia tahu nama mantan pacarku saat ini adalah Fajar? Dan langsung saja tertera panggilan dilayar Handphone ku atas nama Fajar, kenapa selalu secara bersamaan sepeti ini Tuhan?
“Hallo Ndah.. maaf  begitu mengejutkan. Apakah kali ini kamu baik-baik saja?” tentu saja pertanyaan Fajar kali ini tanpa jawaban sepatah katapun dari bibirku. “Sayang, apakah aku berpikirakan meninggalkanmu? Kenapa kejam sekali kamu sempat berpikiran seperti itu?”, lontaran pertanyaan dari Fajar kian tak aku mengerti. “Maksud kamu?” tuuut.. aaaargh lagi-lagi dia memutus sambungan panggilan hah entahlah, aneh sekali aku menanggapi perihal seperti ini, terlalu banyak kejanggalan.
“Assalamualikuuum..” suara salam terdengar dari ruang tamu. “Waalaikumsalaam..” dengan rambut kusut dan wajah berantakan aku keluar menuju ruang tamu, seakan tak percaya ada apa lagi farel datang kemari? Kemudian dengan cengir-cengir kuda dia mengangkat handphonenya dan membuat suatu panggilan entah untuk siapa. Secara bersamaan handphoneku bergetar lagi, waduh Fajar lagi. Dengan sigap tanpa malu-malu aku mengankat panggilan Fajar di hadapan Farel. “hallo selamat fajar..” suara Farel dan Fajar secara serentak bersamaan dengan nyata dan dengan sambungan panggilan. Aku diam tercengang, napasku seolah terhenti. Apakah selama ini Fajar itu Farel dan sebalikya? Ya Allah ini keajaiban. “biar ku jelaskan, apa maksudku memintamu memberikan rindu di pagi hari dan sengaja pura-pura memutuskanmu di waktu petang agar aku tahu bahwa cintamu tak terbatas waktu berganti. Dan kenapa aku menjelma sebagai Fajar karena agar aku tahu jika kamu mempercayai fajar tidak hanya sebatas jarak, penampilan ataupun segalanya. Terimakasih telah mempecayai aku yang sebagai Fajar selama ini, terimakasih juga sudah sangat sangat sabar menghadapi aku Indah. Aku hanya ingin sesuatu yang abadi tentang yang berawal atau kusimbolkan pagi ataupun fajar tidak akan meredup sinarnya ketika petang ataupun jingga di ufuk barat yang semakin meredup dimalam hari. Aku hanya ingin wanita yang selalu bersinar Indah seperti dirimu dengan tanpa kamuflase seperti rangkaian cerita yang sengaja ku buat-buat selama ini. Semoga sinarmu secerah pagi ini Indah untuk Farel ataupun Fajar. Selamat ulang tahun sayang.. tumbuhlah menjadi wanita dewasa yang setia”. Farel menjelaskan panjang lebar kalimat atas kejadian selama ini sambil menyodorkan setangkai mawar merah.
Dia mendekat dan mengelus kepalaku dengan lembut dan hangat. “Terimakasih telah mengijinkanku lagi menatapmu pagi ini jar.. eh maksudku rel haha aku cuma inginkan aku bisa menapmu bukan hanya untuk hari ini tetapi juga untuk selanjutnya” jawabku malu-malu sambil aku tersadar ternyata kami telah lama jadian. “Iya sayang, mana mungkin aku menghentikan cinta ini sampai disitu haha” dia masih saja dengan gayanya yang santai. Halaah terlalu tidak mungkin untuk aku meninggalkannya, dalam kebohongan saja aku hampir mati karenanya. Dan ini lebih dari itu semua, “Siapapun kamu, kita akan tetap bersama, hingga akhirnya kita bisa menatap pagi berikunya.”



Profil Penulis :
Eka Ratna Sari biasa di panggil Eka, lahir di Metro 21 Januari 1995. Alumni SMPN2 dan SMAN 2 Kota Bengkulu. Sekarang berkuliah di Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Bengkulu Jurusan DIV Kebidanan. . Ingin mengenal saya lebih dekat, bisa dihubungi melalui akun Twitter @ekaratna_s / @_eka_rs_ dan blog ekars21.blogspot.com. e mail: ekars21@gmail.com