TUGAS KELOMPOK PKN
SIKAP KOREA SELATAN DALAM KONFLIK ANTARA KOREA UTARA
DAN AMERIKA SERIKAT Studi Kasus Krisis Nuklir di Semenanjung Korea
1/24/2012
NAMA
KELOMPOK ;
1. EKA RATNA SARI
2. ESI FATRICIA
3. JAMILAH HUSNA KHANSA
4. SUSAN VANTRICIA
5. THERESA
KELAS : XI IPA D
KATA PENGANTAR
Terima kasih yang sebesar-sebesarnya
kepada Tuhan yang Maha Esa yang mana telah mengizinkan kami untuk mengerjakan
tugas kelompok ini dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin .
Karya ilmiah ini
mengangkat judul atau tema “SIKAP KOREA SELATAN DALAM KONFLIK ANTARA KOREA
UTARA DAN AMERIKA SERIKAT Studi Kasus Krisis Nuklir di Semenanjung Korea” karena
kami sangat tertarik dengan konflik yang terjadi dan ingin sekali untuk
mengetahui lebih lanjut dan mengupas masalah ini lebih dalam. Karena tema karya
ilmiah ini sangat berkaitang dengan judul mata pelajaran PKN yang sedang di
pelajari pada bab ini yaitu HUBUNGAN
INTERNASIONAL DAN ORGANISASI INTERNASIONAL.
Untuk
itu kami sangat berharap agar tugas kami ini sangat bermanfaat bagi siapa pun
yang membacanya. Oleh karena itu kami sadar bahwa karya tulis kami ini belum
sempurna dan kami mengharapkan saran saran yang di berikan oleh guru Pembina
karena “tak ada gading yang tak retak”.
Bengkulu, 23 Januari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman judul……………………………………………………………………………………………………..1
Kata pengantar…………………………………………………………………………………………………….2
Daftar isi………………………………………………………………………………………………………………3
Bab 1
1.1
Latar
belakang……………………………………………………………………………………….4
1.2
Perumusan
masalah………………………………………………………………………………8
Bab 2 (pembahasan)…………………………………………………………………………………………..9
Bab 3 (kesimpulan)…………………………………………………………………………………………….18
Daftar pustaka……………………………………………………………………………………………………19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Tahun 2002 presiden Amerika Serikat George W. Bush membuat pernyataan yang
provokatif bahwa Korea Utara adalah ”Axis Of Evil” sama seperti Irak dan Iran. Pernyataan
ini muncul karena Amerika Serikat menganggap Korea Utara serupa dengan Irak dan
Iran dan merupakan negara yang potensial untuk berkembangnya terorisme.
Sementara itu politik luar negeri di masa pemerintahan George W. Bush salah
satunya adalah memerangi terorisme internasional. Pemerintah Amerika Serikat
menganggap terorisme internasional merupakan ancaman utama, terlebih setelah
terjadinya serangan 11 September 2001. Pemerintah Amerika Serikat telah
melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi berkembangnya terorisme melalui
berbagai jalur, termasuk diantaranya upaya diplomatik, militer, finansial,
kerjasama dan operasi intelejen, dan law enforcement; yang dilaksanakan baik di
dalam negeri maupun di luar negeri . Tujuan dari semua upaya tersebut adalah
untuk :[3]
1.Pengasapan (Smoking out) teroris agar mereka keluar dari sarangnya sehingga
mudah untuk ditangkap, termasuk lubang – lubang yang tak terduga (sleeper cell)
yang berada di tengah masyarakat.
2.Mencegah adanya Surga Perlindungan (safe heaven) bagi para teroris.
3.Mendesak negara – negara yang oleh Departemen Luar Negeri (Department of
State) dikategorikan sebagai Negara Pendukung Terorisme (states sponsoring
terrorism) untuk menghentikan dukungan mereka terhadap terorisme.
4.Mencegah terjadinya serangan kembali ke Amerika Serikat dengan cara
memperkuat keamanan domestik Amerika Serikat.
5.Meningkatkan kemampuan Teman dan Aliansi (friend and allies) dalam upaya
memerangi terorisme.
Guna memerangi teroris, Amerika Serikat akan melakukan serangan terlebih dahulu
dan tidak akan menunggu datangnya ancaman (defensive intervention). Untuk
mencegah terulangnya kembali serangan ke Amerika Serikat, Presiden Bush dalam
pidatonya di Akademi West Point tanggal 1 Juni 2002 telah menyatakan akan
menerapkan doktrin pre-emption sebagai salah satu opsi, khususnya menghadapi
negara – negara atau kelompok teroris yang menggunakan senjata pemusnah
massal.[4]Bagi Korea Utara pernyataan presiden Bush tersebut dianggap sebagai
sebuah ancaman bagi dirinya. Hal itu dapat terlihat dari pandangan dan langkah
yang diambil oleh Korea Utara. Dalam pandangan RDRK (Republik Demokrasi Rakyat
Korea atau lazim disebut sebagai Korea Utara), kebijakan Amerika Serikat
merupakan sebuah pernyataan perang terhadap Korea Utara yang tidak dapat
dibiarkannya begitu saja. Pernyataan presiden Bush juga telah menunjukkan
secara jelas kebijakan Amerika Serikat yang menghindari dilakukannya dialog dan
penyelesaian masalah – masalah bilateral seperti penyelesaian masalah rudal
pemusnah massal dan pengembangan nuklir yang telah diletakkan oleh pemerintah
sebelumnya. Pada gilirannya, RDRK menyimpulkan bahwa Amerika Serikat juga
berkeinginan menghancurkan RDRK, yang untuk itu RDRK menghadapinya dengan
politik pertahanan dan keamanan dan kekuatan militer yang kuat.[5] Pernyataan
Bush kemudian melahirkan ketegangan – ketegangan yang membuat kacaunya
kesepakatan – kesepakatan yang telah dirumuskan dan disetujui terdahulu baik yang
dilakukan oleh Amerika Serikat dengan Korea Utara maupun antara Korea Selatan
dengan Korea Utara. Berbagai macam imbas terjadi dari ketegangan ini, Korea
Utara dengan cepat menarik diri dan menyatakan mundur dari kesepakatan Nuclear
non-proliferation treaty (NPT), Inspektur nuklir PBB diusir dari Korea Utara,
dan kebijakan – kebijakan lain yang membuat krisis semakin besar dan
memanas.Ketegangan semakin terlihat ketika pada Desember 2002, Korea Utara
memutuskan untuk mengaktifkan kembali pusat nuklir Yongbyon, membongkar
penyekat dan kamera – kamera pemantauan yang dipasang oleh Badan Tenaga Atom
Internasional ( IAEA ) yang tadinya digunakan untuk memverifikasi bahwa reaktor
di tempat itu tidak dijalankan sesuai dengan persetujuan yang ditandatangani tahun
1994.[6] Melihat itu Amerika Serikat pun memberikan sanksi kepada Korea Utara
dengan menangguhkan pengiriman bahan bakar ke negara tersebut. Bahan bakar ini
seharusnya disuplai oleh Amerika Serikat ke Korea Utara sebagai ganti pemenuhan
energi di Korea Utara sesuai kesepakatan tahun 1994 (kemudian disebut sebagai
Genewa Framework Agreement). Dengan adanya Genewa Framework Agreement Korea
Utara bersedia menghentikan pengoperasian reaktor nuklir Yongbyon dan sebagai
gantinya Amerika Serikat akan membentuk konsorsium bersama Jepang dan Korea
Selatan untuk membangun dua reaktor air ringan. Selama waktu pembangunan,
Amerika Serikat akan mensuplai bahan bakar berupa 500.000 ton bahan bakar
minyak berat kepada Korea Utara. Ketika ketegangan menjadi semakin besar,
munculnya negara – negara di sekitar kawasan semenanjung korea seperti Korea
Selatan, Jepang, Cina, dan Rusia untuk turut serta menyelesaikan krisis tidak
dapat dielakkan. Korea Selatan, sebagai negara yang selama ini memiliki
konfrontrasi cukup besar dengan Korea Utara dan sebuah negara yang cukup peduli
dengan keamanan kawasannya, merasa harus turut serta dalam penyelesaian konfik
ini. Peran Korea Selatan dalam penyelesaian krisis ini semakin kuat dan menjadi
logis ketika kepentingan nasional Korea Selatan turut terpengaruh oleh konflik
ini. Membina hubungan menuju arah reunifikasi adalah salah satu program Korea
Selatan, dan ternyata hubungan kedua korea benar – benar mengalami kemacetan
pasca perang pernyataan antara Amerika Serikat dan Korea Utara yang terjadi di
Semenanjung Korea itu, padahal sejak awal pemerintahan Kim Dae-jung usaha
reunifikasi Korea sudah dilancarkan secara intensif oleh pemerintahan Korea
Selatan. Sudah banyak kesepakatan yang diambil kedua
Korea di masa sebelum terjadi konflik nuklir tahun 2002 ini. Usaha yang cukup
terlihat nyata adalah terselenggaranya Konferensi Tingkat Tinggi Inter-Korea
tahun 2000. Pertemuan ini adalah sebuah pertemuan bersejarah di bulan Juni 2000
dimana untuk pertama kalinya sejak perang Korea (1950 – 1953) pemimpin kedua
Korea (Kim Jong-il dan Kim Dae-jung) dapat bertemu untuk membicarakan
perdamaian. Dalam pertemuan antara kedua pemimpin Korea dalam KTT Inter-Korea
tanggal 13-15 Juni 2000 telah ditandatangani Deklarasi Bersama Korea
Selatan-Korea Utara pada tanggal 15 Juni 2000 yang diharapkan dapat menjadi
landasan utama bagi babak baru hubungan antar-Korea dengan melaksanakan
kerjasama di berbagai bidang. Adapun isi dari Deklarasi Bersama (South-North
Joint Declaration) adalah sebagai berikut :
- Reunifikasi independen
Korea ;- Pengakuan atas kesamaan formula reunifikasi kedua
korea ;- Pertukaran keluarga – keluarga terpisah dan resolusi atas tahanan
Korea Utara ;- Meningkatnya keseimbangan pembangunan ekonomi nasional ;-
Menyelenggarakan dialog tingkat pemerintah dan kunjungan Ketua Kim Jong-il ke
Seoul.[8]Pasca KTT Inter-Korea ini memang dirasakan ketegangan cukup mereda.
Kekuatan sebuah kesepakatan setaraf KTT memang cukup berpengaruh dan dapat
menunjukkan hasil yang cukup maksimal. Hal ini dapat dilihat dari bentrokan dan
insiden laut Korut – Korsel di tahun 1998 dan 1999 yang pada awalnya ditandai
dengan intensitasnya cukup tinggi, secara drastis di tahun 2000 dan 2001
bentrokan antara kedua angkatan laut Korea ini hampir tidak pernah terjadi.
Akan tetapi saat memasuki tahun 2002 insiden kembali muncul mengiringi semakin
memburuknya hubungan Korea Utara – Amerika Serikat yang mengawali krisis
nuklir, pada tanggal 29 Juni 2002 terjadi lagi pertempuran antara angkatan laut
Korea Utara dan Angkatan Laut Korea Selatan di laut Kuning. Bentrokan ini
menyebabkan sekitar empat orang pelaut Korea Utara tewas dan 19 lainnya luka
luka, bentrokan ini berbuntut pada penghentian bantuan pangan yang diberikan
presiden Kim bagi Pyongyang.[9] Pasca ketegangan yang terjadi di semenanjung
Korea di tahun 2002 tersebut, Korea Selatan tetap berusaha untuk menjaga
hubungan yang telah dirintis sejak masa pemerintahan Kim Dae-jung. Pada tanggal
7 Januari 2003, juru bicara Komite Transisi Kepresidenan, Joung Soon-Kyun
mengumumkan 10 program lima tahunan presiden baru terpilih Korea Selatan, dan
upaya membangun mekanisme perdamaian di Semenanjung Korea adalah salah satu
program yang menjadi prioritas utama. Upaya untuk menuju penyelesaian secara
damai atas krisis yang terjadi ini juga ditempuh Roh dengan diplomasi marathon
yang dilakukan ke sejumlah negara berpengaruh di kawasan semenanjung
Korea, seperti Jepang dan Cina. Pada KTT Tokyo tanggal 7 Juni 2003, Roh
mengusulkan kepada mitranya PM Koizumi agar Jepang dan Korsel bisa menekan
Pyongyang melalui dialog dan tekanan politik dalam hal pengembangan senjata
nuklir Korea Utara. Lebih lanjut Roh memberikan pernyataan bahwa untuk
mengatasi ketegangan akibat isu nuklir Korea Utara, memerlukan dialog dan
tekanan,akan tetapi Roh lebih menekankan pada upaya dialog.[11]Upaya membangun
hubungan juga dilakukan langsung dengan Korea Utara, itikad baik untuk membina
hubungan dibuktikan dengan kesiapan Korea Selatan menyumbangkan 200.000 ribu
ton pupuk yang diminta Korea Utara sewaktu menawarkan kesediaan negara komunis
yang dilanda kelaparan ini untuk memulai dialog antar –
Korea.[12]Sementara itu di lain pihak hubungan antara Korea Selatan dan Amerika
Serikat saat konflik nuklir dimulai juga mengalami peningkatan, dalam arti
hubungan yang selama ini terpelihara menjadi semakin kuat ketika muncul konflik
ini. Aktivitas yang sifatnya koordinasi dan kompromi antara dua negara ini
seringkali diadakan dan sangat intensif. Pemikiran logis dari Korea Selatan
muncul ketika krisis ini bukan sekedar konflik antara dua negara yang bertikai,
akan tetapi juga sudah menjadi ancaman bagi negara – negara di sekitar daerah
konflik. Peningkatan pengamanan di sekitar perbatasan dan latihan perang
gabungan Amerika Serikat – Korea Selatan tetap diadakan walaupun mendapat
tentangan dari rakyat Korsel sendiri. Bagi pemerintah Korea Selatan, latihan
perang yang diselenggarakan tiap tahun sejak tahun 1976 hanya sebuah upaya
untuk mempertahankan diri. Hal ini dapat dilihat pada sebuah pernyataan Kim
Dae-jung saat akan dimulainya latihan perang gabungan AS – Korsel tahun 2001
yang menyatakan,” latihan perang selama 12 hari ini adalah untuk mempertahankan
perdamaian, kami harus memelihara kondisi keamanan secara pasti, jika perang
terjadi tidak ada perbedaan apakah anda di depan atau di belakang, jadi kita
harus siap menjaga perang yang berulang”. Di tahun 2002 latihan perang yang
diagendakan tiap tahun ini digelar kembali, Komando pasukan Terpadu (CFC)
Amerika Serikat dan Korea Selatan menamakan latihan itu RSOI / FE 02 Reception,
Staging, Onward Movement and Integration karena melibatkan permainan perang
komputer dan latihan lapangan tahunan Foal Eagle, dan pihak militer Amerika
Serikat mengatakan latihan itu semata untuk membela diri. Jadi bagi Korea
Selatan, latihan perang yang dilakukan bukanlah upaya persiapan untuk melakukan
invasi terhadap Korea Utara akan tetapi hanyalah sebuah langkah antisipasi
apabila yang terjadi nanti adalah hal yang terburuk yang akan dialami. Bahkan
Seoul berupaya untuk menghindari publikasi tentang latihan perang gabungan yang
dilakukan di tahun 2001 guna mencegah ambruknya proses rekonsiliasi dengan
Korea Utara. Oleh sebab itu Korsel menolak mengungkapkan pada pers jumlah
tentara Korea Selatan yang dikerahkan untuk latihan tersebut. Demikian juga
intensitas pertemuan antara Amerika Serikat dan Korea Selatan yang khusus
membahas masalah krisis makin kerap dilakukan, baik pertemuan bilateral maupun
multilateral yang juga melibatkan negara-negara kawasan seperti Jepang, Cina,
Rusia. Imbas yang dirasakan sebenarnya begitu besar ketika kesepakatan yang
telah dicetuskan bersama dengan mudah tak lagi diabaikan karena kepentingan
sebuah negara pada akhirnya terancam dan tidak lagi ada jaminan keamanan secara
global.
1.2. PERUMUSAN MASALAH
Dengan melihat latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan masalah, yaitu
mengapa Korea Selatan bersikap mendua dalam konflik Korea Utara – Amerika
Serikat, di satu pihak tetap membina hubungan baik dengan Korea Utara akan
tetapi di lain pihak juga tetap membina hubungan baik dengan Amerika Serikat
pasca krisis nuklir semenanjung Korea tahun 2002 ?
BAB 2
PEMBAHASAN
“MENURUT laporan Angkatan Darat
Korea (Selatan) yang sebagian telah dikonfirmasi laporan penasihat lapangan
dari Grup Penasihat Militer AS di Korea (AMAG), angkatan bersenjata Korea Utara
telah menginvasi wilayah Republik Korea (Korea Selatan) di beberapa titik pada
pagi hari ini. Aksi tersebut dimulai pada pukul 4.00 dinihari. Ongjin
diledakkan oleh artileri Korea Utara. Sekitar pukul 6.00 pagi infanteri Korea
Utara melewati garis perbatasan 38th parallel di sekitar kawasan Ongjin,
Kaesong dan Chunchon, sementara pendaratan pasukan amphibi menurut laporan
terjadi di selatan pantai timur Kangnung. Dilaporkan bahwa Kaesong jatuh pada
pukul 9.00 pagi dengan puluhan tank Korea Utara berpatisipasi dalam operasi
itu. Angkatan bersenjata Korea Utara didahului armada tank dilaporkan tengah
mendekati Chunchon. Detil mengenai pertempuran di daerah Kangnung masih belum
jelas walau pun tampaknya Korea Utara telah memotong jalan utama. Saya terus
mendiskusikan perkembangan situasi dengan penasihat-penasihat lapangan AMAG.
Dari bentuk dan cara-cara yang dilakukan dalam serangan tampaklah bahwa ini
adalah serangan besar-besaran (all out offensive) terhadap Republik Korea.”
–Muccio.
Pagi hari 25 Juni 1950. Pesan itu dikirimkan Dutabesar AS John J. Muccio
untuk Korea Selatan yang berkantor di Seoul ke Washington DC. Kabar dari Muccio
inilah yang kelak dijadikan tanda waktu resmi yang mengawali apa yang kemudian
disebut Perang Korea, perang paling mematikan yang pertama kali meledak seusai
Perang Dunia II. Juga, ini adalah proxy war pertama yang pecah di era Perang
Dingin antara dua kubu pemenang Perang Dunia II, Amerika Serikat yang memimpin
Blok Barat dan Uni Soviet yang memimpin Blok Timur. Setidaknya 2,5 juta orang
tewas dalam perang yang berakhir setelah kedua kubu menandatangani perjanjian
damai pada 27 Juli 1953.
Foto-foto dalam tulisan ini
sebagian diambil dari BBC.
Dua pekan setelah kabar yang
dikirimkan Muccio ke Washington DC, PBB turun tangan. Dalam Resolusi 84 Dewan
Keamanan PBB yang diadopsi tanggal 7 Juli 1950, PBB mengecam serangan itu dan
menyebutnya sebagai tindakan yang merusak perdamaian. PBB selanjutnya mengajak
anggota PBB membantu Korea Selatan dan juga memerintahkan Amerika Serikat
membentuk dan memimpin semacam komando pasukan multinasional dengan menggunakan
bendera PBB.
Resolusi PBB itu didukung oleh
Inggris dan Taiwan yang menduduki kursi Republik Rakyat China, Kuba, Ekuador,
Perancis dan Norwegia, selain tentu saja Amerika Serikat yang sejak Perang
Dunia II berakhir menduduki belahan selatan Semenanjung Korea. Mesir,
India dan Yugoslavia memilih abstain dalam pemungutan suara. Sementara Uni
Soviet memveto dan memboikot pemungutan suara itu.
Soviet yang sejak Perang Dunia II berakhir menduduki wilayah utara
Semenanjung Korea juga memprotes PBB karena mempersilakan Taiwan menduduki
kursi anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang seharusnya diduduki RRC.
Menyusul Resolusi DK PBB ini,
satu persatu negara sekutu Amerika Serikat merapatkan barisan dan bergabung
bersama Amerika Serikat di bawah panji PBB. Selain tiga anggota tetap DK PBB,
Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Korea Selatan dibantu oleh Australia,
Belgia, Kanada, Kolombia, Ethiopia, Yunani, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru,
Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki. Lima negara lain, yakni
Norwegia, Swedia, Denmark, Italia dan India hanya mengirimkan pasukan medis.
Adapun Soviet dan Republik Rakyat
China tentu saja mendukung penuh Korea Utara. Soviet menurunkan 26 ribu
tentara, sementara China menurunkan hampir satu juta, yakni 926 ribu tentara.
Korea Utara sendiri kala itu memiliki 260 ribu tentara. Total pasukan yang
dimiliki kubu ini sebesar 1,2 juta tentara.
Kekuatan, setidaknya jumlah personel kedua kubu yang berperang, sebetulnya
relatif seimbang. Pasukan multinasional yang dipimpin Amerika Serikat juga
memiliki 1,2 juta tentara. Korea Selatan ketika itu memiliki sekitar 600 ribu
tentara. Sementara Amerika Serikat menyumbangkan 480 ribu tentara, diikuti
Inggris (63 ribu), KAnada (26 ribu), Australia (17 ribu), Filipina (7 ribu),
Turki (5 ribu), Belanda (4 ribu), Perancis (3 ribu) dan Yunani (2 ribu).
Negara-negara lain masing-masing mengirimkan sekitar seribu tentara.
***
Menurut catatan, setidaknya 36.516 warga AS, termasuk 2.830 non-kombatan,
tewas di arena Perang Korea.
Awalnya publik Amerika Serikat yang masih mabuk pada kemenangan di teater
Perang Dunia II menganggap bahwa perang di Semenanjung Korea adalah kelanjutan dari
perang sebelumnya. Dukungan diberikan tidak hanya oleh kelompok militer dan
keluarga mereka, tetapi juga oleh masyarakat sipil yang menganggap Perang
Korea, seperti halnya Perang Dunia II, adalah perang yang tidak dapat
dihindarkan. Ini adalah perang yang menentukan hidup dan mati. Dalam perang ini
pun kalau tidak membunuh, tentu akan dibunuh.
Tidak sedikit warganegara Amerika Serikat ketika itu menganggap negara
mereka adalah penyelamat dunia dari kehancuran, dan memandang bahwa tragedi
kemanusiaan yang ditorehkan setiap pertempuran, termasuk misalnya tragedi yang
mengiringi pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945, sebagai
konsekuensi yang harus diambil untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.
Kelak di Amerika Serikat perang ini akan dikenal sebagai Perang yang
Dilupakan (the Forgotten War) atau Perang yang Tidak Diketahui (the Unknown
War).
Pada tanggal 27 Juni, Presiden
Truman memerintahkan angkatan perang Amerika Serikat membantu rezim Rhee di
Korea Selatan. Sementara itu berbagai pembicaraan dengan Dewan Keamanan PBB
dilakukan secara simultan. Di hari yang sama DK PBB mengeluarkan Resolusi 82
yang isinya merekomendasikan beberapa negara yang akan mengirimkan pasukan
untuk memperkuat Korea Selatan.
Tanggal 4 Juli 1950, pemerintah
Uni Soviet mengecam keterlibatan Amerika Serikat. Intervensi ini menurut Soviet
akan memperburuk keadaan. Tetapi Amerika Serikat bersikeras ikut campur dalam
krisis di Semenanjung Korea. Masyarakat sipil Amerika Serikat yang, seperti
disebutkan di atas, umumnya memandang bahwa perang yang tengah berkecamuk di
Korea adalah bagian dari perang besar sebelumnya, juga memberikan restu dan
mengelu-elukan tentara Amerika Serikat yang dikirim ke sana. Setidaknya,
untuk sementara.
Di Amerika Serikat ada beberapa
monumen yang didirikan untuk mengenang Perang Korea. Yang terbesar tentu saja
Korean War Veterans Memorial di National Memorial Park, Washington DC, yang
saya kunjungi Februari 2009 lalu. Lokasinya tak jauh dari Lincoln Memorial, di
sayap kanan Reflecting Pool yang memanjang ke arah Capitol Hill. Berbentuk
segitiga yang memotong sebuah lingkaran memorial park itu terdiri dari empat
bagian utama.
Pertama, Kolam untuk Mengenang
(Pool of Remembrance, yang di beberapa tepinya tertulis jumlah korban perang,
baik yang tewas, menjadi tawanan, maupun hilang, dari pihak pasukan
multinasional dan Amerika Serikat. Di dekat salah satu plakat tertulis
kalimat “Our nation honors her sons and daughters who answered the call to
defend a country they never knew and a people they never met.”
Bagian kedua adalah taman berbentuk segitiga tempat sebanyak 19 patung
stainless steel. Patung-patung ini menggambarkan pasukan Amerika Serikat dari
berbagai divisi yang terlibat dalam perang dengan ukuran yang sedikit lebih
besar dari ukuran manusia dan berat masing-masing mencapai 500 kilogram.
Dinding tebal yang merupakan bagian ketiga dari memorial park ini
menampilkan bayangan tentara dan rakyat sipil dengan tulisan dalam ukuran besar
“Freedom is Not Free”. Sementara bagian terakhir adalah nama dan bendera
negara-negara yang mendukung Resolusi 84 DK PBB, atau dengan kata lain, yang
menjadi bagian dari pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat.
Memorial lain untuk mengenang Perang Korea terdapat di Negara Bagian
Washington, persisnya di East Campus Plaza di sebelah jembatan Capitol Way.
Memorial ini diberi nama “Korean War Veterans Memorial 1950-1953, The Forgotten
War” dan khusus untuk mengenang tentara asal Washington yang meninggal dalam
perang itu. Sebanyak 122 ribu tentara asal Washington bertugas di Korea selama
perang. Dari jumlah itu, sebanyak 532 tentara asal Washington tewas.
***
Boleh saja sejarah konvensional mencatat bahwa Perang Korea dimulai ketika
pasukan Korea Utara menyerang wilayah Korea Selatan sebelum ayam berkokok tanggal
25 Juni 1950.
Namun sesungguhnya,
kapan dan siapa yang pertama kali memulai serangan masih menjadi kontroversi.
Bagi pihak Korea Utara, juga
Soviet dan China, serangan yang dilancarkan pasukan Korea Utara pada dinihari
itu adalah balasan dari serangkaian provokasi kubu Amerika Serikat dan
pemerintahan boneka mereka di Korea Selatan yang dipimpin Syngman Rhee.
“Sekarang telah diketahui secara
luas bahwa Perang Korea bukan hasil dari sebuah serangan yang tiba-tiba di
Semenanjung Korea pada pagi hari 25 Juni 1950,” tulis Dr. Channing Liem dalam
bukunya The Korean War, an Answered Question (1993).
Liem adalah mantan Dutabesar
Republik Korea (Korea Selatan), ya Korea Selatan, di PBB pada tahun 1960 hingga
1961. Lahir di utara Korea setahun sebelum Rusia menganeksasi Semenanjung Korea
pada 1910, Liem sempat mengecap pendidikan di Amerika Serikat. Tahun
1934 dia lulus dari Lafayette College dan melanjutkan pendidikannya ke
Theological Seminary di New York. Tahun 1941 ia kuliah di Princeton University.
Gelar Ph.D diraihnya pada 1945 bersamaan dengan berakhirnya masa pendudukan
Jepang di Semenanjung Korea.
Tahun 1948, Liem kembali ke Korea, tepatnya ke wilayah selatan Korea yang
sejak Jepang kalah perang dikuasai Amerika Serikat. Di selatan, ia bekerja
sebagai penasihat pemerintahan militer AS dan menjadi sekretaris pertama untuk
So Jae-Pil yang merupakan Ketua Penasihat Jenderal John R. Hodge yang merupakan
Gubernur Jenderal AS di Korea Selatan. Tahun 1948 adalah tahun terakhir
Jenderal Hodge bertugas sebagai Gubernur Jenderal. Antara tahun itu sampai
tahun 1950, Jenderal Hodge kembali ke Fort Bragg, Karolina Utara dan ketika
Perang Korea pecah, Jenderal Hodge ditunjuk sebagai Komandan Jenderal Armada
ke-3 Tentara AS yang bermarkas di Amerika Serikat.
Adapun Liem, karena kecewa dengan
partisi yang dialami negerinya, memilih kembali ke Amerika Serikat di tahun
1949. Ia mengajar di Chatham College, Pittsburg, Pennsylvania. Dari
Pennsylvania, ia mengibarkan bendera perlawanan menentang pemerintahan
diktatoriat Syngman Rhee yang didukung Amerika Serikat.
Tahun 1960 Rhee dimakzulkan. Pemerintahan Chang Myon kemudian mengutusnya
menjadi Dutabesar di PBB, New York. Tetapi itu tidak lama, karena setahun
kemudian Chang Myon digusur oleh kudeta militer yang dipimpin Park Chung-Hee.
Seperti pemerintahan militer Rhee, pemerintahan militer Chung-Hee ini juga
didukung oleh Amerika Serikat.
Dan
Liem, juga seperti di masa Rhee, kembali mengibarkan bendera perlawanan
menentang pemerintahan Chung-Hee.
Di awal 1970an ia mulai mengkampanyekan
reunifikasi Korea sebagai jalan keluar untuk menciptakan perdamaian yang
sesungguhnya di Semenanjung Korea. Pada tahun 1974, istrinya, Popai Liem,
mengunjungi Korea Utara. Dua tahun kemudian, giliran Liem yang menginjakkan
kakinya di utara garis 38th parallel. Sejak itu, hubungannya dengan kerabat dan
sahabatnya di utara semakin memperkuat keyakinannya bahwa reunifikasi harus
diwujudkan. Hanya ketiadaan intervensi asing, menurut Liem, yang dapat
menciptakan perdamaian di Korea.
Apa daya, saat ajal menjemput Liem belum menyaksikan negerinya kembali
bersatu. Liem meninggal dunia empat tahun setelah menuliskan buku tipis
The
Korean War, an Answered Question ini.
Saya mendapatkan buku tipis Liem itu saat berkunjung ke Korea Utara di tahun
2003 silam, bersama sejumlah buku lain baik yang mengenai Kim Il Sung, Kim Jong
Il, maupun buku-buku yang ditulis oleh cendekia-cendekia Korea yang
menginginkan reunifikasi kedua negara.
***
Di dalam bukunya itu, Dr. Liem mengatakan Perang Korea adalah hasil dari provokasi
yang terus menerus dilakukan pemerintahan militer Korea Selatan pasca Perang
Dunia II dengan maksud untuk menduduki Korea Utara.
Semenanjung Korea yang memiliki garis pantai sekitar 8.460 kilometer dan
ribuah pulau kecil yang terutama berada di barat dan selatan adalah usus buntu
Asia Timur yang diperebutkan sejak zaman dahulu oleh bangsa-bangsa besar di
kawasan itu karena posisinya yang strategis. Kekaisaran Jepang merebut
Semenanjung Korea dari Dinasti Qing yang memerintah China setelah mengalahkan
dinasti itu dalam perang yang terjadi tahun 1894 hingga 1896.
Satu dekade kemudian, setelah mengalahkan Kekaisaran Rusia dalam perang yang
terjadi antara 1904-1905 Jepang menjadikan Korea sebagai salah satu wilayah di
bawah proteksinya. Tetapi lima tahun kemudian, 1910, Jepang menduduki Korea dan
menjadikannya sebagai salah satu pangkalan untuk mendukung program militerisasi
yang sedang dikembangkan ke Manchuria dan daratan China, untuk selanjutnya ke
seluruh daratan Asia hingga kepulauan Asia Tenggara.
Di saat bersamaan, Jepang juga mengembangkan sayap hingga ke Samudera
Pasifik, menduduki satu persatu pulau penting yang dikuasai negara-negara Eropa
di samudera itu, dan mempersiapkan serangan besar untuk menundukkan Amerika
Serikat.
Di masa pendudukan Jepang, kelompok nasionalis dan cendekiawan Korea
melarikan diri ke negara-negara lain. Beberapa lainnya, termasuk kelompok yang
dipimpin Syngman Rhee mendirikan pemerintahan di pengasingan di Shanghai.
Sementara kelompok komunis bertahan dan melakukan perlawanan gerilya. Kelompok
terakhir ini dipimpin oleh Kim Il Sung.
Begitu Jepang bertekuk lutut dan menyerah kalah di bulan Agustus 1945,
giliran Uni Soviet dan Amerika Serikat yang memperebutkan Semenajung Korea.
Garis batas tradisional yang memisahkan Jepang dan Rusia di masa lalu, yakni
garis yang terletak di titik 38 derajat Lintang Utara, kembali digunakan.
Soviet mendapatkan kembali Semenanjung
Korea miliknya, dan Amerika Serikat, menggantikan Jepang, mendapatkan bagian
selatan.
Menurut Liem, Soviet dan Amerika
Serikat menerapkan dua kebijakan yang berbeda di masing-masing tanah Korea yang
mereka kuasai. Tak lama setelah “mengambil kembali” wilayah yang pernah
didudukinya, Soviet angkat kaki dan meninggalkan Korea Utara yang dipimpin oleh
pemerintahan yang dijalankan orang-orang Korea. Sementara Amerika Serikat
menetapkan Korea Selatan sebagai salah satu pangkalan militer dan daerah
penting yang harus dipertahankan. Amerika mengangkat Gubernur Jenderal,
Jenderal Hodge, yang bertugas sampai Syngman Rhee terpilih sebagai presiden
pertama Korea Selatan.
Nah, sejak Mei 1949 pemerintah
Rhee terus melancarkan serangan ke utara, demikian Liem. Dalam sebuah
pertempuran yang terjadi di bulan itu, Korea Selatan menurunkan enam armada
battalion infanteri.
Dalam pertempuran itu sebanyak
400 tentara Korea Utara tewas, sementara Korea Selatan hanya mengalami kerugian
yang relatif keci: 22 tentara. Awalnya, Amerika Serikat tidak begitu mendukung
sikap agresif pemerintahan Rhee. Namun seiring dengan waktu yang bergulir,
terutama setelah mengamati bagaimana Soviet yang walaupun merupakan negara
sekutu yang paling banyak dirugikan dalam Perang Dunia II berangsur pulih dari
luka dan kembali menyusun kekuatan, sementara pemerintahan Mao Zedong di China juga
sudah bisa mengkonsolidasi diri, Amerika Serikat mulai khawatir. Bila tak
segera bertindak, bisa jadi kelak kemudian hari Amerika Serikat akan terusir
dan terpaksa angkat kaki meninggalkan Semenanjung Korea.
Sejak saat itulah, perlahan tapi
pasti Amerika Serikat mulai mendukung agresifitas Korea Selatan yang ditujukan
ke utara. Beberapa insiden memperkuat keyakinan Amerika Serikat bahwa Korea
Selatan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dibandingkan Korea Utara.
Sampai babak ini Amerika Serikat
masih memilih hati-hati. Mereka tidak mau bila Korea Selatan tertangkap basah
menjadi pihak pertama yang melepaskan tembakan ke arah Korea Utara. Bila
melakukan serangan lebih dahulu, PBB akan mencap Korea Selatan sebagai agresor
dan keinginan Amerika Serikat menguasai seluruh Korea jadi berantakan.
Itulah sebabnya untuk beberapa
lama Amerika Serikat menahan-nahan keinginan Rhee. Sejauh ini yang perlu
dilakukan Korea Selatan adalah melakukan aksi provokasi dan menunggu Korea
Utara terpancing. Bagaimanapun, sebaik-baiknya bukti bagi Amerika Serikat,
adalah bukti yang memperlihatkan agresi Korea Utara ke wilayah Korea Selatan.
Sikap hati-hati Amerika Serikat
membuahkan hasil. Dutabesar untuk Korea Muccio mengirimkan kabar ke Washington
DC. Kabar ini lalu diteruskan Dutabesar Amerika Serikat untuk PBB Earnest A.
Gross. Dalam pembicaraan melalui sambungan telepon dengan Sekjen PBB Trygve
Lie, Gross yang mengutip laporan Muccio, mengatakan dengan pasti bahwa pasukan
Korea Utara melancarkan serangan besar-besaran ke Korea Selatan.
“Korea Utara telah menginvasi
teritori Republik Korea di beberapa titik dinihari tadi. Sebuah serangan yang
melanggar perdamaian dan merupakan tindakan agresi,” ujar Gross sambil meminta
agar DK PBB segera menggelar pertemuan.
Menurut Dr. Liem, Dubes Gross
telah membelokkan kabar Dubes Muccio. Dalam laporannya, Muccio menggunakan
istilah “partly” atau sebagian untuk menjelaskan bahwa baru sebagian dari
informasi mengenai serangan Korea Utara yang telah “dikonfirmasi laporan
penasihat lapangan dari Grup Penasihat Militer AS di Korea (AMAG)”. Sementara
Gross dalam laporannya kepada Sekjen Lie mengabaikan kata itu danmenegaskan
bahwa Korea Utara telah nyata-nyata melakukan agresi dan karenanya DK PBB harus
bertindak tegas.
Pembicaraan via telepon antara
Dubes Gross dan Sekjen Lie ini dikutip Dr. Liem dari buku yang ditulis jurnalis
I.F. Stone, Hidden History of Korean War, yang juga mempersoalkan isi
laporan Dubes Gross kepada Sekjen Lie.
Namun menurut hemat saya,
kalkulasi Dr. Liem mengenai pesan Dubes Muccio untuk Washington DC yang
selanjutnya dikutip Dubes Gross dalam laporannya kepada Sekjen Lie, terdengar
naïf karena mengandaikan bahwa hanya Amerika Serikat yang berkepentingan dengan
“bukti legalitas” agresi Korea Utara.
Peta politik di tubuh PBB yang
mencerminkan fragmentasi politik global di awal Perang Dingin memperlihatkan
bahwa lembaga itu pun tengah mencari bukti serupa untuk melegalkan tekanan
kepada Korea Utara. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk kalimat laporan Dubes
Gross untuk Sekjen Lie menjadi tidak penting, atau setidaknya tidak begitu
penting. Laporan Dubes Muccio yang dikutip Dubes Gross pun tidak bermaksud
untuk menimbulkan kebimbangan dan keraguan yang akan membuat pemerintah Amerika
Serikat mengambil keputusan setelah keraguan itu terjawab. Penggunaan kata
“partly” dalam laporan Muccio tidak berarti bahwa Korea Utara belum melakukan
agresi militer yang sempurna ke wilayah Korea Selatan. Kata itu tidak penting.
Dengan
melaporkan serangan Korea Utara itu, Dubes Muccio ingin menginformasikan kepada
pengambil kebijakan di Washington DC bahwa bukti legal serangan Korea Utara
telah ditemukan. Laporan ini yang kemudian diteruskan Washington DC kepada
Dubes Gross di PBB dan selanjutnya disampaikan Dubes Gross kepada Sekjen Lie, kepada
dunia internasional (kubu Barat) yang sedang mencari-cari bukti untuk
melegalkan tekanan kepada Korea Utara.
Tetapi Dr. Liem sungguh serius
dengan kalkulasi ini. Ia menuliskan, bukti lain yang menguatkan teori tentang
keinginan Amerika Serikat menutupi skala serangan Korea Utara ketika itu adalah
fakta bahwa laporan yang disampaikan Dubes Muccio untuk atasannya,
pejabat-pejabat Deplu di Washington DC, ditutupi selama lebih dari sebulan.
Ketika isi lengkap laporan Muccio yang berisi 171 kata itu akhirnya dibuka,
pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat yang menggunakan bendera PBB
telah mengkonsolidasi diri, dan perang telah terlanjur berkobar.
Ketika membaca bagian ini ingatan
saya terbawa pada peristiwa di bulan Februari 2003, ketika Menteri Luar Negeri
AS Colin Powell berbicara di depan Dewan Keamanan PBB. Ia menyampaikan analisa
pemerintahan George W. Bush mengenai upaya Irak mengembangkan senjata pemusnah
massal. Analisa itu, demikian Powell, didukung oleh laporan-laporan intelijen
yang dapat dipercaya. Sebagian berasal dari laporan intelijen Amerika Serikat,
sebagian lagi berasal dari negara lain dan ada juga yang berasal dari ilmuwan
Irak yang menjadi korban uji coba senjata pemusnah massal.
Tetapi, seperti juga diketahui
oleh Powell, sampai Baghdad diduduki dan Saddam Hussein digantung mati, Amerika
Serikat tidak menemukan apa yang disebut dengan senjata pemusnah massal.
Sebaliknya, yang mereka temukan adalah Irak yang kering kerontang setelah
dihantam perang berpuluh tahun, mulai dari Perang Iran-Irak (1980-1988), Perang
Teluk I (1991) yang disusul embargo ekonomi. Laporan yang diterima
Powell nyatanya salah besar. Ia membayar mahal. Pada November 2004 Powell
mengundurkan diri.
Dengan menggunakan kata naïf untuk mengomentari kalkulasi Dr. Liem, saya
tidak bermaksud mengatakan bahwa analisanya mengenai keinginan Amerika Serikat
yang menggunakan pemerintahan militer Rhee untuk mengangkangi Semenanjung Korea
tidak berarti apa-apa. Jelas kalkulasi Dr. Liem itu bermanfaat untuk
menjelaskan satu hal: dunia internasional, dalam hal ini PBB yang menjadi
representasinya, sangat tergantung pada Amerika Serikat sebagai pihak yang
dapat memberikan “bukti legal”.
PBB memang tidak memberikan izin kepada Amerika Serikat yang membentuk
pasukan multinasional untuk memukul Saddam Hussein. Menurut PBB, Resolusi 1441
yang memberikan kewenangan kepada organisasi PBB UNMOVIC dan UNSCOM serta IAEA
untuk memeriksa fasilitas senjata Irak sudah cukup. Tetapi sikap diam PBB
sebagai sebuah lembaga yang gagal memberikan teguran atau sanksi atas tindakan
main hakim sendiri yang dilakukan Amerika Serikat juga dapat dibaca sebagai
persetujuan lembaga itu terhadap semua “bukti legal” yang disampaikan
Powell.Ketika bukti legal itu diketahui bohong belaka, PBB pun tidak memberikan
sanksi apapun kepada Amerika Serikat.
Kembali ke Semenanjung Korea. Bagi PBB, laporan Dubes Muccio yang dikirimkan
ke Washington DC untuk selanjutnya diteruskan kepada Dubes Gross dan
disampaikan kepada Sekjen Lie cukup memadai untuk digunakan sebagai dasar hukum
memberi pelajaran bagi Korea Utara. Bagi dunia internasional yang dikuasai kubu
Amerika Serikat, Perang Korea dimulai ketika Korea Utara melancarkan “serangan
pertama” pukul 4.00 dinihari di Ongjin, 25 Juni 1950.
Bagi Pyongyang, perang sesungguhnya terjadi dua hari sebelum itu. Pukul
10.00 pagi, 23 Juni 1950, pasukan Korea Selatan menyerang pertahanan Korea
Utara di Semenanjung Ongjin, menghujaninya dengan howitzer 105mm selama enam
jam.
Itu bukan serangan pertama yang
dilancarkan Korea Selatan, tetapi merupakan serangan yang berlangsung paling
lama.
Melihat sifat dan karakternya,
Korea Utara memperkirakan bahwa serangan pada pukul 10.00 pagi tanggal 23 Juni
itu barulah appetizer yang akan mengawali serangkaian serangan besar yang
tengah dipersiapkan Amerika Serikat dan Korea Selatan. Perkiraan itu semakin
kuat bila dikaitkan dengan kunjungan Utusan Menlu AS John Foster Dulles
beberapa waktu sebelumnya ke Korea Selatan dan ke garis perbatasan 38th
parallel. Faktanya lagi, sejak menduduki selatan Korea, Amerika Serikat
membangun kekuatan militer yang luar biasa besar di kawasan itu.
Maka demikianlah, dengan maksud
mementahkan rencana perang besar yang tengah dipersiapkan pihak lawan, dinihari
25 Juni 1950 Korea Utara memutuskan untuk melancarkan serangan balasan. Kelak,
Korea Utara mengatakan bahwa dugaan mereka tentang perang besar yang disiapkan
Korea Selatan dan Amerika Serikat terbukti benar. Dalam laporan di tahun 1979
yang dikutip Dr. Liem, pemerintah Korea Utara mengatakan:
“Tentara boneka (tentara Republik
Korea) meluncurkan serangan pada dinihari sepanjang 38th parallel, masuk atara
satu hingga dua kilometer ke dalam teritori wilayah utara ke arah Haeju,
Kumchon dan Cholwon. Di sektor barat Resimen ke-17 Divisi Metropolitan boneka
menyerang ke arah Taetan dan Pyoksong, Divisi Infanteri ke-1 masuk dari Kaesong
ke tiga arah, dan Divisi Infanteri ke-7 mengarah ke Ryonchon. Di sektor timur
Divisi Infanteri ke-6 bergegas menuju Hwachon dan Yanggu, dan Divisi Infanteri
ke-8 dari tiga arah menuju Yangyang di pantai timur. Sebuah perintah telah
dikeluarkan untuk Tentara Rakyat Korea dan Angkatan Pertahanan Republik untuk
menghentikan gerakan musuh dan melakukan serangan balasan besar sekaligus, dan
selanjutnya memulai Perang Pembebasan Tanah Air melawan invasi militer Amerika
Serikat dan sekutunya.”
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan kelompok:
Dari hasil pengamatan kami
mengenai konflik Amerika dan Korea selatan adalah Ketika membaca salah satu bagian ingatan kami
terbawa pada peristiwa di bulan Februari 2003, ketika Menteri Luar Negeri AS
Colin Powell berbicara di depan Dewan Keamanan PBB. Ia menyampaikan analisa
pemerintahan George W. Bush mengenai upaya Irak mengembangkan senjata pemusnah
massal. Analisa itu, demikian Powell, didukung oleh laporan-laporan intelijen
yang dapat dipercaya. Sebagian berasal dari laporan intelijen Amerika Serikat,
sebagian lagi berasal dari negara lain dan ada juga yang berasal dari ilmuwan
Irak yang menjadi korban uji coba senjata pemusnah massal.
Tetapi, seperti juga diketahui
oleh Powell, sampai Baghdad diduduki dan Saddam Hussein digantung mati, Amerika
Serikat tidak menemukan apa yang disebut dengan senjata pemusnah massal.
Sebaliknya, yang mereka temukan adalah Irak yang kering kerontang setelah
dihantam perang berpuluh tahun, mulai dari Perang Iran-Irak (1980-1988), Perang
Teluk I (1991) yang disusul embargo ekonomi. Laporan yang diterima
Powell nyatanya salah besar. Ia membayar mahal. Pada November 2004 Powell
mengundurkan diri.
Dengan menggunakan kata naïf untuk mengomentari kalkulasi Dr. Liem, kami
tidak bermaksud mengatakan bahwa analisanya mengenai keinginan Amerika Serikat
yang menggunakan pemerintahan militer Rhee untuk mengangkangi Semenanjung Korea
tidak berarti apa-apa. Jelas kalkulasi Dr. Liem itu bermanfaat untuk
menjelaskan satu hal: dunia internasional, dalam hal ini PBB yang menjadi
representasinya, sangat tergantung pada Amerika Serikat sebagai pihak yang
dapat memberikan “bukti legal”.
Menurut
kami, perang besar yang di sebabkan Krisis Nuklir di Semenanjung Korea ini
memang berdampak besar pada organisasi organisasi internasional besar seperti
PBB yang mencoba angkat tangan dengan adanya konflik antara Amerika dan Korea
ini.
DAFRTAR
PUSTAKA