Sebelumnya... Salam sejahterah untuk tetangga saya yang telah menyumbangkan ceritanya secara tidak langsung. Di sini awanya saya mendapatkan tugas bahasa Indonesia untuk membuat cerpen realita, yang menjadi objek kasusnya tetangga saya sendiri, untuk teman-teman yang ingin melihat contoh cerpen mungkin tugas saya ini bisa membantu.... :) selamat membaca.....!!!!
PILIHAN
“Kejar…. Kejar… ayo… ayo… cepat…”
suara anak- anak yang sedang meramaikan apa pun yang ada di sekitarnya. Aku
bersandar menatap putra putri kecil penyebar ceria. Teringat lagi masa masa
kecilku bersama teman-teman di temani oleh seorang Mama. Kini semuanya kelam
semenjak kejadian itu, bahkan aku
bingung dalam segala hal termasuk hidupku. Ada masalah masalah gelap yang selalu mengikuti semenjak
kejadian itu. Atau mungkin apa aku terlalu mencintai Mama dari pada Ibu baru ku.
“Tiiit…tiiit…” suara klakson itu datang lagi, aku bergegas
menuju pintu. Papa datang tanpa ekspresi seperti biasa dengan perempuan itu.
Ah, tak ada waktu lagi untuk pergi atau untuk sekedar mencari hiburan
melepaskan penat di rumahku yang seharusnya damai ini. Aku memiliki seorang
kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki yang semuanya sudah berkeluarga.
Dan sekarang aku baru tamat dari salah satu SMK di kota Bengkulu, yang sedikit
membuat aku bernapas lega terbebas dari biaya, yang selalu membuatku
mengemis-ngemis di hadapan orang tua baru, tapi mungkin hanya perasaanku saja.
Kulihat kearah kamar mereka,
sepertinya sedikit renggang. Tanpa takut aku meraih helm dan kunci motor, ini
saatnya pergi bersama teman-teman dan kekasihku. Aku memiliki seorang pacar
yang bernama Putra, sebenarnya aku tak pernah berfikir untuk berpacaran
dengannya, tidak seperti mantan-mantan ku yang lain, tapi dia seorang sosok
pelindung bagi ku apalagi disaat kondisi seperi sekarang ini dan begitu serius
dalam menjalani hubungan kita.
“ Putri… apa kabar, kenapa belakangan ini kamu jarang
keluar?” Tanya Putra dengan tatapan yang serius seperti biasanya. “hemmmm…
biasa aja kok mungkin karena aku bukan seorang pelajar lagi, jadi
jalan-jalannya agak sedikit dikurangin, hahahaha..kan udah dewasa..” aku
menjawab dengan senyum bohong, menutupi rasa sakit yang selama ini ku pendam.
“Jadi, kamu sedikit terbiasa dengan Ibu barumu?” lanjutnya lagi. Aku bingung,
tiba – tiba ekspresi wajahku berkata jujur dengan setetes air mata tanpa
sengaja tertumpah “Ibu baru? Hah… apanya yang Ibu baru. Perempuan itu hanya
ingin papa ku saja, semua kakak ku sudah tak sering lagi datang kerumah,
mungkin karena merasa tidak dianggap sebagai seorang anak. Padahal rumah ini
atas nama Mama tapi kenapa jadi begini, Papa juga tak pernah merawat kami lagi
sekarang”. “ya sudahlah.. hari sudah malam, cepat pulang dari pada menimbulkan
masalah baru..” katanya begitu perhatian.
Angin malam bertiup sejuk membelai semua pepohonan
seolah-olah menari. “Aku ga mau pulang!!
Aku takut sikapmu berubah besok. Apa kamu ingin serius?” entah kenapa tiba-tiba
aku ingin mengatakan hal itu, seolah-olah aku menyiapkan
diri untuk dicempak dari keluarga itu dan berharap Putra akan menerima ku
sepenuhnya. “Aku serius, dan bisa saja dalam keadaan seperti ini aku akan
melamarmu…”. Kata-kata ini membuatku tersentak tanpa berpindah tempat, sedikit
lega dalam hati tapi aku diam tanpa kata seperti tak ada alasan untuk tidak
pulang ke rumah malam ini. Aku pergi meninggalkan Putra di temani rembulan yang
mengikutiku diam-diam dari belakang.
Keesokan paginya, suasana rumah begitu sepi. Aku keluar
dari kamar menuju ruangan lainnya untuk membuktikan apakah benar-benar tidak
ada orang, tak ku temukan seorang pun dirumah ini. Tiba-tiba perutku merasa
lapar, aku menuju meja makan berharap ada makanan yang telah
tersaji di sana. Hah, tak ada sedikit pun. Sejak kapan mereka pergi sampai tak
biasa menyiapkan sarapan. Memang suasana berbeda di saat Mama masih ada, tapi
sekarang seperti hidup sendiri cuma kakak-kakak ku yang kadang-kadang datang dan membawa
sedikit makanan ke sini.
Satu minggu berlalu kedaan rumah sedikit datar, aku tetap
bertahan di rumah. Tapi begitu sorenya aku di kejutkan dengan kedatangan Putra
bersama orang tuanya untuk melamar ku. Aku benar-benar tak percaya dan
diam-diam mengintip dari ruang tengah ada Papa dan perempuan itu yang sedang
berbicara dengan penuh serius. Dan kedua orang tua Putra menyerahkan sebuah amplop kepada Papa,
entah mungkin untuk biaya pernikahan. Aku senang karena Putra memenuhi
janjinya. Kemudian tidak berapa lama Putra dan orang tuanya berpamitan pulang.
Aku segera berlari menuju kamar dan pura-pura tidak tahu apa-apa. Tapi Papa
menarik tangan ku dan meluncurkan ikat pinggangnya. Apa ini oh Tuhan?. Apa Papa tidak setuju dengan semuanya tadi ataukah uang
yang di berikan orang tua Putra tidak cukup banyak. Dengan tatapan penuh marah
Papa masih memecutkan ikat pinggangnya ke tubuh ku. Aku
menangis dengan sepontanitas dengan suara seperti gemuruh tapi Papa tak
menghiraukannya lalu meninggalkan ku di bawah pohon mangga di samping rumah.
Aku sebenarnya sangat malu pada tetangga, mereka mungkin tahu tapi tak cukup
untuk berani keluar karena takut di cap mencampuri urusan rumah tangga orang,
selebih lagi Papa adalah orang yang cukup dihormati di sini. Ingin rasanya aku
berteriak “Mama tolong aku…!
Setelah beberapa saat tangis ku pun mereda, kakak
perempuanku pun yang baru datang langsung berlari dan mengangkatku yang
terduduk kaku di tanah, ada tetesan air mata di wajahnya. Sungguh aku tak kuat,
ternyata bukan cuma aku yang merasakan semua ini. Kenapa keluarga kami menjadi
seperti ini ya Tuhan?
Saat ini aku sangat terpukul, aku tak tahan lagi tinggal
di rumah ini. Dengan wajah yang masih berbekas air mata dan semua barang-barang ku
sudah ku kumpulkan. Tiba saatnya aku pergi dari rumah, kakak perempuanku
mengantarkan ku ke rumah kakak laki-laki. Aku beruntung memiliki saudara yang
begitu menyayangiku. Disini aku bisa hidup lebih tenang dari pada di rumah yang
sangat mencengkam. Dan sekarang aku baru tersadar bahwa aku sudah memilih
hidupku untuk menjauhi mereka walaupun masih ada di bumi ini.
Dalam waktu sebulan lamanya aku tinggal bersama kakakku.
Ternyata semua kakak ku setuju agar aku menikah dengan Putra. Mereka membantu
ku untuk menyiapkan semuanya bahkan pesta kecil-kecilan sekalipun. Tidak semua
mengetahui tentang pernikahan ini tanpa terkecuali teman-teman ku, namun ada
beberapa orang yang aku undang. Disaat menit-menit Ijap Kabul ini aku berharap Mama datang di saat aku
menikah dan menyaksikan pernikahan ku tapi aku sadar Mama sudah meninggal.
Putri Cuma ingin mengatakan kepada Mama bahwa inilah pilihan Putri untuk
menikah pada usia dini karena dengan begini aku bisa terlindungi dengan
keluarga baru ku, tanpa terkecuali Putra yang kini teah resmi menjadi suamiku.
Sekarang aku telah melupakannya, disaat-saat pedih di
rumah itu. Karena di sini ada keluarga baru yang begitu baik pada ku yaitu
mertua baruku yang menyayangi aku seperti menyayangi anak nya sendiri. “Maafkan
Putri Mama, Putri sudah meninggalkan rumah, Putri juga meninggalkan Papa aku
mohon Mama jangan sedih di sana tapi ini pilihan Putri dan semoga ini yang
trebaik untuk Putri. Aku sayang Mama…”
NAMA : EKA
RATNA SARI
KELAS : XII
IPA D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar