Kamis, 07 Februari 2013

Cerpen Realita


Sebelumnya... Salam sejahterah untuk tetangga saya yang telah menyumbangkan ceritanya secara tidak langsung. Di sini awanya saya mendapatkan tugas bahasa Indonesia untuk membuat cerpen realita, yang menjadi objek kasusnya tetangga saya sendiri, untuk teman-teman yang ingin melihat contoh cerpen mungkin tugas saya ini bisa membantu.... :) selamat membaca.....!!!!


PILIHAN

            “Kejar…. Kejar… ayo… ayo… cepat…” suara anak- anak yang sedang meramaikan apa pun yang ada di sekitarnya. Aku bersandar menatap putra putri kecil penyebar ceria. Teringat lagi masa masa kecilku bersama teman-teman di temani oleh seorang Mama. Kini semuanya kelam semenjak kejadian  itu, bahkan aku bingung dalam segala hal termasuk hidupku. Ada masalah  masalah gelap yang selalu mengikuti semenjak kejadian itu. Atau mungkin apa aku terlalu mencintai  Mama dari pada Ibu baru ku.
             “Tiiit…tiiit…” suara klakson itu datang lagi, aku bergegas menuju pintu. Papa datang tanpa ekspresi seperti biasa dengan perempuan itu. Ah, tak ada waktu lagi untuk pergi atau untuk sekedar mencari hiburan melepaskan penat di rumahku yang seharusnya damai ini. Aku memiliki seorang kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki yang semuanya sudah berkeluarga. Dan sekarang aku baru tamat dari salah satu SMK di kota Bengkulu, yang sedikit membuat aku bernapas lega terbebas dari biaya, yang selalu membuatku mengemis-ngemis di hadapan orang tua baru, tapi mungkin hanya perasaanku saja.
            Kulihat kearah kamar mereka, sepertinya sedikit renggang. Tanpa takut aku meraih helm dan kunci motor, ini saatnya pergi bersama teman-teman dan kekasihku. Aku memiliki seorang pacar yang bernama Putra, sebenarnya aku tak pernah berfikir untuk berpacaran dengannya, tidak seperti mantan-mantan ku yang lain, tapi dia seorang sosok pelindung bagi ku apalagi disaat kondisi seperi sekarang ini dan begitu serius dalam menjalani hubungan kita.
“ Putri… apa kabar, kenapa belakangan ini kamu jarang keluar?” Tanya Putra dengan tatapan yang serius seperti biasanya. “hemmmm… biasa aja kok mungkin karena aku bukan seorang pelajar lagi, jadi jalan-jalannya agak sedikit dikurangin, hahahaha..kan udah dewasa..” aku menjawab dengan senyum bohong, menutupi rasa sakit yang selama ini ku pendam. “Jadi, kamu sedikit terbiasa dengan Ibu barumu?” lanjutnya lagi. Aku bingung, tiba – tiba ekspresi wajahku berkata jujur dengan setetes air mata tanpa sengaja tertumpah “Ibu baru? Hah… apanya yang Ibu baru. Perempuan itu hanya ingin papa ku saja, semua kakak ku sudah tak sering lagi datang kerumah, mungkin karena merasa tidak dianggap sebagai seorang anak. Padahal rumah ini atas nama Mama tapi kenapa jadi begini, Papa juga tak pernah merawat kami lagi sekarang”. “ya sudahlah.. hari sudah malam, cepat pulang dari pada menimbulkan masalah baru..” katanya begitu perhatian.
Angin malam bertiup sejuk membelai semua pepohonan seolah-olah menari.  “Aku ga mau pulang!! Aku takut sikapmu berubah besok. Apa kamu ingin serius?” entah kenapa tiba-tiba aku ingin mengatakan hal itu, seolah-olah aku menyiapkan diri untuk dicempak dari keluarga itu dan berharap Putra akan menerima ku sepenuhnya. “Aku serius, dan bisa saja dalam keadaan seperti ini aku akan melamarmu…”. Kata-kata ini membuatku tersentak tanpa berpindah tempat, sedikit lega dalam hati tapi aku diam tanpa kata seperti tak ada alasan untuk tidak pulang ke rumah malam ini. Aku pergi meninggalkan Putra di temani rembulan yang mengikutiku diam-diam dari belakang.
Keesokan paginya, suasana rumah begitu sepi. Aku keluar dari kamar menuju ruangan lainnya untuk membuktikan apakah benar-benar tidak ada orang, tak ku temukan seorang pun dirumah ini. Tiba-tiba perutku merasa lapar, aku menuju meja makan berharap ada makanan yang telah tersaji di sana. Hah, tak ada sedikit pun. Sejak kapan mereka pergi sampai tak biasa menyiapkan sarapan. Memang suasana berbeda di saat Mama masih ada, tapi sekarang seperti hidup sendiri cuma kakak-kakak ku yang kadang-kadang datang dan membawa sedikit makanan ke sini.
Satu minggu berlalu kedaan rumah sedikit datar, aku tetap bertahan di rumah. Tapi begitu sorenya aku di kejutkan dengan kedatangan Putra bersama orang tuanya untuk melamar ku. Aku benar-benar tak percaya dan diam-diam mengintip dari ruang tengah ada Papa dan perempuan itu yang sedang berbicara dengan penuh serius. Dan kedua orang tua Putra menyerahkan sebuah amplop kepada Papa, entah mungkin untuk biaya pernikahan. Aku senang karena Putra memenuhi janjinya. Kemudian tidak berapa lama Putra dan orang tuanya berpamitan pulang. Aku segera berlari menuju kamar dan pura-pura tidak tahu apa-apa. Tapi Papa menarik tangan ku dan meluncurkan ikat pinggangnya. Apa ini oh Tuhan?. Apa Papa tidak setuju dengan semuanya tadi ataukah uang yang di berikan orang tua Putra tidak cukup banyak. Dengan tatapan penuh marah Papa masih memecutkan ikat pinggangnya ke tubuh ku. Aku menangis dengan sepontanitas dengan suara seperti gemuruh tapi Papa tak menghiraukannya lalu meninggalkan ku di bawah pohon mangga di samping rumah. Aku sebenarnya sangat malu pada tetangga, mereka mungkin tahu tapi tak cukup untuk berani keluar karena takut di cap mencampuri urusan rumah tangga orang, selebih lagi Papa adalah orang yang cukup dihormati di sini. Ingin rasanya aku berteriak “Mama tolong aku…!
Setelah beberapa saat tangis ku pun mereda, kakak perempuanku pun yang baru datang langsung berlari dan mengangkatku yang terduduk kaku di tanah, ada tetesan air mata di wajahnya. Sungguh aku tak kuat, ternyata bukan cuma aku yang merasakan semua ini. Kenapa keluarga kami menjadi seperti ini ya Tuhan?
Saat ini aku sangat terpukul, aku tak tahan lagi tinggal di rumah ini. Dengan wajah yang masih berbekas air mata dan semua barang-barang ku sudah ku kumpulkan. Tiba saatnya aku pergi dari rumah, kakak perempuanku mengantarkan ku ke rumah kakak laki-laki. Aku beruntung memiliki saudara yang begitu menyayangiku. Disini aku bisa hidup lebih tenang dari pada di rumah yang sangat mencengkam. Dan sekarang aku baru tersadar bahwa aku sudah memilih hidupku untuk menjauhi mereka walaupun masih ada di bumi ini.
Dalam waktu sebulan lamanya aku tinggal bersama kakakku. Ternyata semua kakak ku setuju agar aku menikah dengan Putra. Mereka membantu ku untuk menyiapkan semuanya bahkan pesta kecil-kecilan sekalipun. Tidak semua mengetahui tentang pernikahan ini tanpa terkecuali teman-teman ku, namun ada beberapa orang yang aku undang. Disaat menit-menit Ijap Kabul ini aku berharap Mama datang di saat aku menikah dan menyaksikan pernikahan ku tapi aku sadar Mama sudah meninggal. Putri Cuma ingin mengatakan kepada Mama bahwa inilah pilihan Putri untuk menikah pada usia dini karena dengan begini aku bisa terlindungi dengan keluarga baru ku, tanpa terkecuali Putra yang kini teah resmi menjadi suamiku.
Sekarang aku telah melupakannya, disaat-saat pedih di rumah itu. Karena di sini ada keluarga baru yang begitu baik pada ku yaitu mertua baruku yang menyayangi aku seperti menyayangi anak nya sendiri. “Maafkan Putri Mama, Putri sudah meninggalkan rumah, Putri juga meninggalkan Papa aku mohon Mama jangan sedih di sana tapi ini pilihan Putri dan semoga ini yang trebaik untuk Putri. Aku sayang Mama…










NAMA           : EKA RATNA SARI
KELAS          : XII IPA D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar