Di Sudut Marlborough
Masih teringat pada menit-menit terakhir suasana rindu
yang terganti sedih, kilauan rintiknya tak dapat lagi tertutupi payung hitam. Di
sini, paling tidak bumi juga pernah bercerita tentang kisah lama untuk di
bertamukan kembali semoga saja tak seperti kedukaan panas sewaktu menjajah
negeri. Aku masih terpojok pada bangunan Bengkulu ini, dimana kelam sejarahnya tetapi masih di pertahankan
ceritanya dan andai ini disamakan dengan memori ingatan manusia yang dulunya
pahit tapi tak pernah basi untuk dipikirkan setiap insan.
“Kita
masih disini cantik..”, suara ini tenang saja mengalahkan angin pantai panjang
di bawah bukit buatan ini. Mengangkat kepala adalah caraku meresponnya “ha
hai.. kalian disini?”, kata ini keluar dengan ragu dari mulutku. Senyum lirih
sambil bergetar, aku kaku, aku takut, aku kesal. Anjani dan Fitri mendekati
diri dengan raut wajah yang sama bingungnya. “Dia bersama yang baru, Ni”,
mereka menoleh serentak. Sekarang tanda Tanya mulai pindah memahat pikiran
mereka berdua. “oh gusti, kamu serius? Lalu? Ayolah coba move on sayang”, Fitri mulai bicara. “Ini sudah terlalu lama baby. Sudah saatnya say kamu bergerak
untuk kehidupanmu bukan untuk menunggu hidup orang lain”.
Kami
berdiri saling menggatikan langkah kaki sampai tepi jembatan pintu bangunan
benteng. Terlihat sepasang mata menjatuhkan sorotnya pada kami. ”Wah.. ayah
cari ternyata kamu disini, ayah kira kamu tadi pergi kemana Ni”, pria ramping
dan tinggi ini menyodorkan makanan yang ada di tangannya, “mau? Ini seafood goreng yang ayah beli di
pedagang kaki lima”. Harum kepiting dan udang goreng yang menggugah selera,
tetapi suasana hati membuat semua makanan itu menjadi hambar.“Aku kenyang”,
jawabku dengan padat, sudah hampir dua tahun sejak ayah tak pernah merestui hubunganku
dengan Andy. Aku kecewa waktu itu, padahal kondisinya aku sudah putus dengan Andy,
tetapi ayah yang mengira bahwa aku dan Andy pacaran dan beliau sangat menentang
keras atas hubungan kami.
“Orang
tua sangat mengerti yang terbaik untuk anaknya”, Anjani menepuk pundakku lalu
mengikat cengir tipis bersama Fitri, seolah hanya mereka berdua yang tahu
kemudian pergi berlari kecil kearah angin menuju bibir pantai. Aku harus
berhadapan dengan kondisi ini, dimana kedekatan tak lagi menimbrung entah sahabat
ataupun keluarga tidak satupun yang peduli.
***
Aku
terus mencengkam kertas ini, ayah menjanjikan tentang perihal yang katanya aku
harapkan. Aku tak menganggapnya kejutan atau apa, karena terlalu sering ayah
memberikanku peta mini ketika aku masih kecil dan menyuruhku untuk datang tepat
waktu, biasanya saat ulang tahunku. Tapi kali ini berbeda, entah peristiwa
seperti apa lagi yang akan disumbangkan oleh ayah, di hari yang bukan hari
kelahiranku.
Warna
jingga cuaca sore ini menyilaukan mataku, terkejut melihat raga milik siapa di
hadapanku. Lelaki ini aku sangat mengenalnya, walaupun hanya bayangnya yang
tertinggal sekalipun tak kan pernah terlupakan. Aku membaca wajah kesal di raut
mukanya, sepertinya ragu. Lantas ku abaikan sejenak dia dan menatap kearah peta
mini yang ayah berikan.
Sebenarnya
aku tak pernah tahu untuk apa semua alasan ini, layaknya dejavu. Ini terlalu berkesan untuk ku telusuri. Kenapa semua keluarga
dan kerabat dekat ada di sini, kemudian ada sekumpulan keluarga lain yang tak
juga asing. Ayah mendekat dan mengibaskan tangannya bermaksud menyadarkanku
“telusuri peta itu, maka kamu akan mendapatkan kebahagiaan”, beliau menunjuk ke
arah pojok atas sana. Luapan penasaran meronta mengikuti arah, aku berlari lepas
kendali.
Uh..
napasku masih belepotan, aku berhenti pada sudut gedung benteng bagian tinggi
ini, menekukkan lutut seraya bersujud, “apa ini?”. Dia mengambil jari manis ku
dan memasangkan dengan nyaman benda itu. “Hahaha ternyata kita sama-sama kena
jebakan tuan kapten, Alhamdulillah”, hei dia laki-laki yang kutemui di depan
tadi. Aku memalingkan wajahku malu ke arah tulisan tapak Paderi. Benar saja
Anjani dan Fitri yang dari tadi ternyata mengiguti kami bersandar pada meriam
yang sudah ratusan tahun umurnya. “Riani biar ku jelaskan, tidak sengaja aku
memutuskan hubungan kita karena aku dijodohkan oleh orang tua kita. Dan
ternyata dia adalah kamu”, Andy menyapa mataku dengan pekat sampai aku tak tahu
lagi harus dialihkan kemana pandangan ini.
Ku kira
sebelumya tempat mensejarah tak layak untuk di sejarahkan lagi. Dengan material
bata yang jumbo dan adukan semen tangan-tangan terjajah, menyatukan kokohnya
tempat ini. Seperti menyatukan batin kami disini. Sekarang keluarga aku dan
Andy menjadi padu mencetak sejarah lagi di bangunan ini dengan pertunangan ala
klasik sejarahwan. Hal lain yang ku mengerti tentang keharusan manusia memuji
berkas lalunya agar dengan cerita baru seperti kisah di sudut Marlborough
petang ini.
Profil penulis :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar