Selasa, 19 Mei 2015

Di Sudut Marlborough


Di Sudut Marlborough


Masih teringat pada menit-menit terakhir suasana rindu yang terganti sedih, kilauan rintiknya tak dapat lagi tertutupi payung hitam. Di sini, paling tidak bumi juga pernah bercerita tentang kisah lama untuk di bertamukan kembali semoga saja tak seperti kedukaan panas sewaktu menjajah negeri. Aku masih terpojok pada bangunan Bengkulu ini, dimana kelam sejarahnya tetapi masih di pertahankan ceritanya dan andai ini disamakan dengan memori ingatan manusia yang dulunya pahit tapi tak pernah basi untuk dipikirkan setiap insan.
            “Kita masih disini cantik..”, suara ini tenang saja mengalahkan angin pantai panjang di bawah bukit buatan ini. Mengangkat kepala adalah caraku meresponnya “ha hai.. kalian disini?”, kata ini keluar dengan ragu dari mulutku. Senyum lirih sambil bergetar, aku kaku, aku takut, aku kesal. Anjani dan Fitri mendekati diri dengan raut wajah yang sama bingungnya. “Dia bersama yang baru, Ni”, mereka menoleh serentak. Sekarang tanda Tanya mulai pindah memahat pikiran mereka berdua. “oh gusti, kamu serius? Lalu? Ayolah coba move on sayang”, Fitri mulai bicara. “Ini sudah terlalu lama baby. Sudah saatnya say kamu bergerak untuk kehidupanmu bukan untuk menunggu hidup orang lain”.
            Kami berdiri saling menggatikan langkah kaki sampai tepi jembatan pintu bangunan benteng. Terlihat sepasang mata menjatuhkan sorotnya pada kami. ”Wah.. ayah cari ternyata kamu disini, ayah kira kamu tadi pergi kemana Ni”, pria ramping dan tinggi ini menyodorkan makanan yang ada di tangannya, “mau? Ini seafood goreng yang ayah beli di pedagang kaki lima”. Harum kepiting dan udang goreng yang menggugah selera, tetapi suasana hati membuat semua makanan itu menjadi hambar.“Aku kenyang”, jawabku dengan padat, sudah hampir dua tahun sejak ayah tak pernah merestui hubunganku dengan Andy. Aku kecewa waktu itu, padahal kondisinya aku sudah putus dengan Andy, tetapi ayah yang mengira bahwa aku dan Andy pacaran dan beliau sangat menentang keras atas hubungan kami.
            “Orang tua sangat mengerti yang terbaik untuk anaknya”, Anjani menepuk pundakku lalu mengikat cengir tipis bersama Fitri, seolah hanya mereka berdua yang tahu kemudian pergi berlari kecil kearah angin menuju bibir pantai. Aku harus berhadapan dengan kondisi ini, dimana kedekatan tak lagi menimbrung entah sahabat ataupun keluarga tidak satupun yang peduli.
***
            Aku terus mencengkam kertas ini, ayah menjanjikan tentang perihal yang katanya aku harapkan. Aku tak menganggapnya kejutan atau apa, karena terlalu sering ayah memberikanku peta mini ketika aku masih kecil dan menyuruhku untuk datang tepat waktu, biasanya saat ulang tahunku. Tapi kali ini berbeda, entah peristiwa seperti apa lagi yang akan disumbangkan oleh ayah, di hari yang bukan hari kelahiranku.
            Warna jingga cuaca sore ini menyilaukan mataku, terkejut melihat raga milik siapa di hadapanku. Lelaki ini aku sangat mengenalnya, walaupun hanya bayangnya yang tertinggal sekalipun tak kan pernah terlupakan. Aku membaca wajah kesal di raut mukanya, sepertinya ragu. Lantas ku abaikan sejenak dia dan menatap kearah peta mini yang ayah berikan.
            Sebenarnya aku tak pernah tahu untuk apa semua alasan ini, layaknya dejavu. Ini terlalu berkesan untuk ku telusuri. Kenapa semua keluarga dan kerabat dekat ada di sini, kemudian ada sekumpulan keluarga lain yang tak juga asing. Ayah mendekat dan mengibaskan tangannya bermaksud menyadarkanku “telusuri peta itu, maka kamu akan mendapatkan kebahagiaan”, beliau menunjuk ke arah pojok atas sana. Luapan penasaran meronta mengikuti arah, aku berlari lepas kendali.
            Uh.. napasku masih belepotan, aku berhenti pada sudut gedung benteng bagian tinggi ini, menekukkan lutut seraya bersujud, “apa ini?”. Dia mengambil jari manis ku dan memasangkan dengan nyaman benda itu. “Hahaha ternyata kita sama-sama kena jebakan tuan kapten, Alhamdulillah”, hei dia laki-laki yang kutemui di depan tadi. Aku memalingkan wajahku malu ke arah tulisan tapak Paderi. Benar saja Anjani dan Fitri yang dari tadi ternyata mengiguti kami bersandar pada meriam yang sudah ratusan tahun umurnya. “Riani biar ku jelaskan, tidak sengaja aku memutuskan hubungan kita karena aku dijodohkan oleh orang tua kita. Dan ternyata dia adalah kamu”, Andy menyapa mataku dengan pekat sampai aku tak tahu lagi harus dialihkan kemana pandangan ini.
            Ku kira sebelumya tempat mensejarah tak layak untuk di sejarahkan lagi. Dengan material bata yang jumbo dan adukan semen tangan-tangan terjajah, menyatukan kokohnya tempat ini. Seperti menyatukan batin kami disini. Sekarang keluarga aku dan Andy menjadi padu mencetak sejarah lagi di bangunan ini dengan pertunangan ala klasik sejarahwan. Hal lain yang ku mengerti tentang keharusan manusia memuji berkas lalunya agar dengan cerita baru seperti kisah di sudut Marlborough petang ini.


Profil penulis :

            Eka Ratna Sari biasa di panggil Eka, lahir di Metro 21 Januari 1995. Alumni SMPN2 dan SMAN 2 Kota Bengkulu. Sekarang berkuliah di Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Bengkulu Jurusan DIV Kebidanan. Akun Twitter @ekaratna_s / @_eka_rs_ dan blog ekars21.blogspot.com. e mail: ekars21@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar